Sebenarnya
terlalu banyak hal atau cerita yang ingin saya tulis untuk postingan terbaru
blog saya tapi masalahnya adalah dalam sebulan terakhir, waktu saya cenderung
habis untuk nonton film, baca buku, kumpul dengan teman-teman dan pulang ke
rumah saya yang ada di Tangsel nun jauh di sana. Belum lagi, menulis bagi saya
adalah kegiatan yang mengikuti suasana hati. Belum lagi, cerita-cerita yang
ingin saya tulis lebih ke kejadian faktual dan kejadian tersebut telah satu
bulan berlalu dan ingatan saya seperti spons. Jadi, postingan terbaru saya akan
dimulai dengan kejadian paling menarik yang baru saya rasakan. Kejadian ini
adalah perjalanan saya (atau yang tren sekarang ini disebut sebagai blusukan)
ke daerah pecinan di Jakarta ketika menjelang Imlek! Yap, Petak Sembilan. Oke,
saya sangat yakin mungkin beberapa dari Anda yang membaca blog saya ini
bertanya-tanya, “Emang ada ya pecinan (atau kerennya chinatown) di Jakarta?”
Jawabannya adalah ADA!! Dan tempatnya bukan di Kampung Cina Kota Wisata Cibubur
(yang buat saya membosankan) tapi ada di seberang Glodok, pertokoan yang terkenal
dengan barang elektronik dan, ehem, DVD bokep. Kaget ya kalo ternyata pecinan
di Jakarta itu ada di tempat strategis yang mungkin Anda sering lewati? Saya
bersyukur punya seorang ibu yang seneng jalan menelusuri ibu kota karena dari
ibu saya pula, saya mengetahui Petak Sembilan sejak SMA yang berarti sekitar
7-8 tahun yang lalu (yah umur gue ketahuan). Bahkan saya pernah membaca di
majalah (Jakarta Java Kini kalo ga salah) kalo Petak Sembilan adalah salah satu
pecinan terbesar di dunia (makin kaget kan?)
Kalo
Anda ingin tahu petunjuk jalan ke Petak Sembilan ada beberapa cara.
- Yang paling mudah tentu saja kalo Anda membawa kendaraan pribadi sendiri. Anda hanya tinggal menuju ke arah pertokoan Harco Glodok dan parkir di pertokoan seberang Harco (kalo Anda dari arah Sudirman) atau parkir di Harco (kalo Anda dari arah Beos). Lalu berjalan kaki di samping pertokoan seberang Harco. Jalan yang ada di samping pertokoan tersebut. Nama jalannya kalo ga salah Jalan Pancoran. Tapi saya sarankan kalo pergi ketika menjelang Imlek atau Cap Gomeh sebaiknya tidak menggunakan kendaraan pribadi karena kemacetan udah muncul dari setelah Gajah Mada.
- Cara kedua adalah dengan menggunakan TransJakarta. Anda hanya tinggal turun di halte Glodok. Ketika Anda berada di jembatan penyeberangannya dan bingung harus pilih kanan atau kiri, Anda tinggal ambil yang kanan lalu turun. Setalah Anda berada di kaki tangga terakhir, Anda tinggal jalan terus hingga berada di jembatan besar penghubung Harco dan pertokoan di seberangnya (saya masih ga tau namanya), lalu Anda belok kiri di jalan samping pertokoan tersebut.
- Cara ketiga dan cara yang saya tempuh adalah dengan menggunakan commuter line. Intinya ketika Anda menggunakan commuter line dari jurusan manapun Anda berangkat (mau Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok atau Serpong), Anda hanya perlu berhenti di Stasiun Tanah Abang. Lalu Anda keluar stasisun dan naik angkot warna biru yang jurusan Tanah Abang-Kota (kalo ga salah nomor jurusannya 08) lalu tinggal bilang turun di Petak Sembilan. Nah nanti Anda akan turun persis di depan Jalan Pancoran yang memang pintu masuk ke Petak Sembilan. Saya ga tau ongkosnya berapa karena ibu saya yang bayarin (malu ya) tapi kayanya ga lebih dari Rp5.000
Nah
tujuan utama saya ke Petak Sembilan pada hampir dua minggu yang lalu adalah
untuk wisata kuliner. Iya wisata kuliner di sana meskipun saya Muslim. Tapi
tenang aja saya tetap makan yang halal kok. Perlu ditambahkan adalah kebelet
nyoba wisata kuliner di Gang Gloria yang terkenal itu. Kenapa? Karena beberapa
kali saya ke Petak Sembilan, saya belum pernah mampir ke Gang Gloria karena
faktor ibu saya yang agak enggan, takut makanannya non halal semua.
Nah
perjalanan saya beserta ibu saya dan seorang teman saya diawali dengan naik
commuter line yang pukul 9 pagi dari Stasiun Pondok Ranji dan tiba di Petak
Sembilan pada pukul 10 kurang. Ajaib kan bisa secepet itu? Makanya naik
commuter line! Nah begitu sampai di Jalan Pancoran, saya langsung menuju Gang
Gloria meskipun saya tidak tahu letaknya dimana. Jadi ini petunjuk saya
รจ ketika Anda tiba di Jalan Pancoran, Anda akan menemukan dua ruas jalan
yang dibagi oleh kali kecil atau parit. Nah, Anda tinggal ambil lajur kanan,
jalan terus hingga Anda menemukan hotel kecil bernama Hotel Fortuna. Nah Gang
Gloria ada persis di sebelah hotel tersebut. Jarak dari jalan besar ke Gang
Gloria deket banget, mungkin sekitar 200 meter. Kalo Anda masih bingung, Anda
tinggal tanya saja ke penduduk sekitar, seperti yang saya lakukan dan mereka
kemungkinan besar tahu.
Dan jangan lupakan, dari mulut Jalan Pancoran saja, kemeriahan
menjelang Imlek sudah sangat terasa. Banyak mobil yang diparkir di kedua ruas
jalan tersebut. Belum lagi warga yang berada di sekitaran jalan tersebut.
Bahkan kalo mau jujur, angkot yang kami naiki sampai harus tidak melewati depan
Harco tetapi memotong jalan lewat belakang Harco karena jalanan yang sudah
mulai macet.
Nah
saya yakin, sejak kepala Anda muncul di mulut Gang Gloria, Anda langsung disambut
tawara makan berbagai macam jenis masakan oleh para pedagang. Saya pribadi sama
sekali tidak tergiur mungkin karena pengaruh saya yang seorang Muslim tapi
mungkin bagi Anda yang non-Muslim, saya rasa Anda akan tergiur. Berbagai jenis
makanan, mulai dari nasi hainan, nasi tim, mie ayam, gorengan, buah-buahan
sampai ketupat sayur tumpah ruah di gang yang kecil dan gelap tetapi sangat
menarik itu. Nah tujuan saya adalah langsung menuju ke Kedai Kopi Tak Kie. Tapi
setelah saya celingak-celinguk, saya tidak dapat menemukan kedai tersebut.
Akhirnya saya menuju ke Kari Lam yang katanya juga terkenal. Letak tempat Kari
Lam ada di ujung Gang Gloria. Entah kenapa saya yakin tempat Kari Lam adalah
lokasi syuting film Berbagi Suami karya Nia Dinata karena kebetulan saya sangat
suka film tersebut jadi sedikit banyak masih hapal dengan film tersebut
meskipun sudah lama ga nonton Berbagi Suami.
Saya
sengaja tidak sarapan di rumah saat itu karena memang berniat sarapan di Petak
Sembilan. Awalnya saya ragu apakah Kari Lam halal atau tidak bahkan sekadar
bertanya pun saya tidak enak. Untungnya teman saya berani menanyakan dan
kebetulan dia non-Muslim. Nah okenya, bapak penjualnya sangat ramah dan
menjelaskan kalo masakan yang dia masak adalah halal. Selain itu, dia juga
bilang “kalo mas atau ibu ragu, ga apa-apa, saya ga mau maksa ibu/mas makan
masakan saya”. Oke, saya langsung pesan satu porsi kari ayam dengan bihun dan
teman saya memesan kari sapi dengan nasi. Lalu ibu saya pesan apa? Ibu saya
ragu jadi ibu saya memesan somay.
Rasa
kari ayam saya enak tapi ga luar biasa. Hmmm sebenarnya enak sih, saya suka
malah karena karinya pas, ga medok dan ga terlalu tipis. Maklum, saya kini
bekerja di tanah Sumatera yang masakannya serba medok bumbunya. Kalo masakan,
rempahnya kuat, kalo kue, gulanya kayak satu kilo alias manis banget. Jadi
menurut saya pas apalagi ini santapan untuk sarapan. Apalagi potongan ayamnya
banyak banget dan udah dipotong-potong untuk bisa disumpit dan sekali lahap.
Selain itu sudah tidak ada tulangnya. Bihunnya juga pas porsinya. Nilainya 8
deh. Saya ga coba kari sapi yang dimakan teman saya atau somay yang disantap
oleh ibu saya. Oya satu porsi untuk kari ayam dihargai Rp32.000, kari sapi
Rp38.000 dan somay untuk satu buahnya adalah Rp6.000. Memang mahal.
Kari Ayam
Dari
Kari Lam, kami menuju ke Toko Kawi (bukan apotek yang di Mayestik atau Bintaro)
yang ada persis di seberang Kari Lam. Tokonya seperti mini market yang jual
aneka rupa makanan dan kayaknya terkenal karena sosis/ham babi dari Bali.
Ketika saya liat, sosisnya kurus dan kering tapi kok kayaknya enak. >..<
Segala macam rupa dijual di toko tersebut. Seperti saya yang membeli selai
raspberry murah tapi lumayan enak (Rp14.000) dan kaldu jamur (Rp8.000). Teman saya
membeli teh bunga chrysantium dan ting-ting gepuk khas Semarang. Sedangkan,
saya lupa ibu saya beli apa aja (maaf ya, Ma). Nah, ada kejadian lucu ketika
saya dan teman saya akan keluar dari toko. Jadi ketika saya membayar di kasir,
kami melihat ada telur asin yang masih dibaluri oleh abu gosok. Nah karena
masih dilumurin abu gosok, kami pikir unik, pasti masih baru dan pasti enak
(karena sekali lagi, ini ada di Petak Sembilan). Akhirnya saya dan temen beli
telor asin tersebut yang harga per buahnya adalah Rp4.000. nah ketika kami
ingin makan telor asin tersebut ternyata ibu saya melihat kami dan bilang kalo
telor asin tersebut masih mentah dan perlu dimasak dulu. Jiah, dasar anak kota.
Kayak begituan ga paham. Haha. Tapi ketika ibu saya merebusnya, ternyata
beneran enak banget. Udah lama saya ga makan telor asin seenak itu.
Nah
setelah dari Toko Kawi, kami (tepatnya saya) langsung berusaha mencari dimana
Kedai Kopi Tak Kie. Setelah tanya-tanya ke para pedagang akhirnya ketemu juga
kedai kopi tersebut. Kalo dari awal Gang Gloria ada di sebelah kanan, kedainya
kecil tapi sudah dilapisi kaca. Ketika kami masuk, kami langsung disambut
dengan ramah oleh seorang ibu yang sepertinya pemilik kedai tersebut dan
langsung menawarkan mau makan dan minum apa. Karena kami baru saja makan
jadinya kami hanya memesan kopi saja, saya es kopi dan teman saya memesan kopi
panas. Sebenarnya saya tertarik untuk nyoba makanan yang ada di kedai tersebut.
Ada nasi campur (yang ini udah pasti ga mau karena pake B2), nasi tim ayam dan
bubur ayam. Tapi sekali lagi saya ragu dan akhirnya ibu saya yang menanyakan ke
pelayannya apakah nasi tim ayamnya halal. Jawabannya buat saya menarik, “eeeeh
(sambil nyengir melas) bagusnya ga pesen bu”. Oh yaudah, jadi tenang kan. Kami
seneng sama pedagang yang jujur, saling menghargai dan bukan yang penting laku.
Akhirnya pesanan kami datang dan biarpun saya bukan penikmat kopi tapi saya
harus akui es kopi yang saya pesen enak banget, kayak ada yang langsung nendang
ketika menyeruput pertama kali. Tajam. Di kedai kopinya sendiri dipajang artikel-artikel
koran maupun majalah tentang mereka bahkan foto syuting sebuah film yang
dibintangi Wulan Guritno dan Widyawati tetapi saya lupa judul filmnya. Oya
kabarnya Kedai Kopi Tak Kie ini sudah berusia 80an tahun loh. Luar biasa kan.
Interior Kedai Es Tak Kie
Es Kopi dan Kopi Panas
Nah
persisi di luar Kedai Kopi Tak Kie, ada beberapa penjual makanan yang kabarnya
enak, yaitu nasi tim dan ketupat sayur. Tapi saya tidak makan karena pertama sekali
lagi faktor ketidakyakinan saya akan kehalalannya dan faktor diburu waktu
(karena ibu saya ada rencana lain untuk sore itu). Di sekitar kedai kopi
tersebut ada juga yang menjual sekba atau bektim yang merupakan jeroan babi
yang direbus dengan bumbu (sepertinya). Temen saya yang wajahnya mirip
keturunan etnis Tionghoa pun sempat diatawari “koh ayo sekba koh”. Haha. Bahkan
temen saya baru tau sekba itu apa dari ibu saya. Haha. Maklum, ibu saya besar
di daerah Halim dan memiliki banyak teman dari suku Batak non-muslim ketika
SMA, jadi ibu saya sedikit banyak tahu meskipun tidak pernah merasakan makanan
B2. Selain masakan tersebut ada juga pioh tauco. Nah seblum saya ke sana
kemarin, saya sempat browsing dan baca majalah kalo pioh itu adalah bulus. Anda
tau bulus kan? Kalo tidak tau, bulus ada hewan sejenis kura-kura, bedanya bulus
memiliki hidung semacam belalai. Kabarnya mengonsumsi bulus baik untuk kulit.
Daaaan tepat ketika kami keluar dari kedai kopi Tak Kie, saya melihat pedagang
pioh tauco sedang memotong-motong bulus. Dagingnya putih/bening dengan sedikit
hijau (mungkin karena faktor tempurungnya). Jujur saya langsung mau nangis
ketika itu. Kasian liatnya, ga tega (FYI, sejak beberapa bulan lalu saya
melakukan ‘vegetarian week’, yaitu tidak mengonsumsi daging apapun kecuali
telur selama satu minggu dalam satu bulan dengan tujuan memudahkan saya menjadi
vegetarian lacto-ovo, serius, haha).
Keluar
dari Gang Gloria, kami langsung menuju seberang jalan melalui jembatan kecil
untuk menelusuri pelataran toko-toko yang ada di sana. Ampun, penuhnya sampe
jalan aja susah. Sambil megang erat-erat tas selempang saya karena takut
dicopet, saya tidak lupa untuk menikmati kejadian di sekitar saya. Merah
meriah. Iya, semua serba merah yang meriah. Lampion, angpao, gantungan pintu,
pajangan, kaos yang bergambar kuda (ingat, Tahun Kuda Emas) dan lain-lain
semuanya serba merah. Sebenarnya saya ingin beli lampion karena dari pengen
punya lampion tapi tetep aja sampai saya pulang mikirnya mau ditaro dimana
lampion tersebut. Saya juga hampir beli kaos karena tergiur harganya yang
Rp100ribu untuk tiga kaos tapi setelah saya liat-liat gambarnya tidak ada yang
menarik. Yang dijual di sepanjang pelataran bukan cuma perlengkapan Imlek
tetapi juga barang lain seperti snack (termasuk permen susu White Rabbit yang
terkenal itu) sampe payung (yang ibu saya beli) dan garukan punggung (yang saya
beli). Bahkan ada yang jual DVD bajakan yang mayoritas dagangannya adalah
serial atau film Mandarin. Jangan lupakan juga tetap ada toko pengobatan
tradisional Cina.
Suasana Sepanjang Jalan Pancoran, Petak Sembilan
Karena
ternyata berdesak-desakan meriah itu juga melelahkan dan menyebabkan saya lapar
lagi. Alasan. Akhirnya saya menemani ibu saya yang belum makan berat dan kami
berakhir di tukang bakso yang sudah ketiga kalinya kami datangi selama
kunjungan kami ke Petak Sembilan. Sebenarnya yang jual ga sendiri tapi ada tiga
orang kalo ga salah. Letaknya ada di ujung pelataran toko yang berakhir di
pertigaan sebelum memasuki wilayah Asemka. Benar-benar di ujung persis di depan
toko snack. Cukup lihat antrian pembelinya. Biarpun dandang yang menampung
baksa hanya berjumlah satu tapi jangan tanya antiannya, gila, rame banget.
Baksonya sendiri ga cuma satu dandang itu saja tapi tetap diisi ulang. Harga
satu porsinya Rp10ribu berisi 9-10 bakso berukuran kecil dan bihun. Rasanya
buat saya enak walaupun kayak bakso biasanya tapi mungkin karena murah, sensasi
ngantrinya dan sensasi makan di bawah pohonnya yang bikin tambah enak. Tips
saya untuk membeli bakso ini, di sini tidak kenal antri, jadi ya harus tega. J
Suasana Penjual Bakso di Ujung Jalan Pancoran
Nah
tidak jauh dari tempat bakso, ada penjual makanan dan minuman lagi (iya, ini
kan Petak Sembilan). Ada pedagang rujak juhi, cincau dan es tebu. Tepatnya ada
di ujung mentok pertigaan di sebelah tempat bakso. Seberang serongnya si tempat
bakso lah. Nah bapak penjual rujak juhi ini juga udah beberapa kali saya dan
ibu saya kunjungi. Kalo ada yang belom tahu rujak juhi itu apa, rujak juhi itu
makanan yang terdiri dari sayuran seperti selada, kol, kentang dan ditaburi
juhi atau sotong panggang yang sudah digepuk lalu disiram bumbu kacang. Rasanya
enak banget!!!! Satu porsi harganya Rp15ribu. Di Gang Gloria juga ada rujak
juhi harganya Rp20ribu tapi saya pribadi lebih suka rujak juhi yang deket bakso
karena yang di Gang Gloria agak keras juhinya. Nah kalo Anda haus di sebelahnya
ada es cincau hijau yang harganya Rp4ribu dan es tebu yang harganya sama kalo
ga salah. Es cincaunya enak, ga kayak cincau kebanyakan di jaman sekarang yang
kerasa pengawetnya. Saya saat itu tidak minum es tebuna karena kenyang tapi
ketika nemenin temen saya makan rujak juhi, saya liat wadah sari tebunya
dikerubungi tawon-tawon kecil. Pertanda tebu yang bagus banget kan? Oya ketika
saya makan bakso, ada dua orang temen saya yang ikut gabung pelesir di Petak
Sembilan. Jadi sekarang kami berlima.
Nah
kalo perut Anda masih sanggup di seberang serong rujak juhi (atau berlawanan
dengan bakso) ada kedai pempek yang lumayan enak seingat saya, cuma saat itu
saya ga kesana karena sudah kelewat kenyang (yaiyalah, satu porsi kari ayam,
bakso dan setengah porsi rujak juhi). Kedai pempek tersebut juga rame dan
harganya tidak terlalu mahal. Plus kalo Anda suka membaca, tepat di depan kedai
pempek dijual banyak sekali majalah bekas, buku pelajaran bekas dan buku umum
lainnya yang tentunya juga bekas. Saya ga tau kisaran harganya karena memang ga
pernah minat kalo ke sana padahal saya suka baca loh.
Nah
berhubung ibu saya capek akhirnya ibu saya numpang duduk di bapak rujak juhi
sedangkan saya dan ketiga teman saya menuju Asemka yang memang lokasinya
berdampingan dengan Petak Sembilan. Nah, saat itu saya bilang kalo di Asemka
ini dijual parfum KW yang murmer yang ketika saya SMA dulu harganya cuma
belasan ribu per botol. Iya per botol yang saya maksud di sini adalah yang
ukuran 100 ml, ukuran standar parfum beneran. Botolnya pun sama dengan botol
parfum aslinya bahkan sampe ke kardus kemasannya. Yah tapi maklumin aja kalo
wanginya cm tahan 1-3 jam. Haha. Tapi setelah keliling di dalam Asemka (yang
gedungnya udah sangat amat mengerikan saking tuanya), kami tidak berhasil menemukan yang menjual parfum
KW200 ini (saking murahnya jd KW200) karena kami hanya menemukan toko parfum
yang asli. Kemanakah penjual-penjual parfum dulu itu? Sejauh kami lihat, yang
ada hanya pedagang aksesoris perempuan (yang banyak banget jumlahnya), kosmetik
atau alat rumah tangga. Kami menyerah dan keluar. Tapi dasar anak muda, kami
masuk lagi dan mencari. Akhirnya mata saya menangkap kemasan-kemasan parfum di
toko kosmetik. Insting saya mengatakan itu dia parfum KW200 yang kami cari.
Setelah ditanya ternyata benar. Harganya sekarang sudah Rp20ribu per botol
(tetep muraaaaah banget). Akhirnya saya membeli dua parfum, yang pertama
Clinique Happy dan Carolina Herrera 212 for Men. Kami membeli tanpa tau
wanginya seperti apa karena disegel dan ga bisa dibuka. Kami Cuma beli
berdasarkan kemasan kardusnya. Haha. Lagipula kami mikirnya, ah persetan
wanginya kayak apa yang penting 20rebu!!! Bahkan saya yakin harga parfum non
alkohol di pelataran masjid ga semurah itu. Haha.
Parfum KW200 yang Saya Beli
Selepas
dari Asemka kami kembali lagi ke tempat bapak rujak juhi tempat ibu saya
menunggu. Omong-omong, saya baru ngeh ketika temen saya bilang toko di Asemka
rata-rata tulisannya ‘Toko Tiruan A’ atau ‘Toko Tiruan B’ yang artinya tiruan
suatu merk. Ckckck. Haha. Setau saya juga kalo Anda terus berjalan menuju arah
lain Asemka (ke arah fly over), Anda akan menemui toko-toko perlengkapan
anak-anak yang murah, baik untuk sekolah maupun perlengkapan ulang tahun.
Setelah
dari Asemka, kami bingung mau kemana lagi, akhirnya kami menuju Jalan
Kemenangan III untuk melihat-lihat Wihara Dharma Bakti. Nah berhubung kami semua tidak ada yang tahu dimana letak wihara tersebut akhirnya kami bertanya kesana kemari. Awalnya kami bertanya ke seorang hansip yang memang sedang berjaga di Jalan Pancoran dan ternyata arah kami sudah benar. Jadi kami melewati sebuah gang persis sebelum restoran AW (kalo Anda dari arah Glodok, tapi kalo dari arah Asemka maka gang tersebut setelah restoran AW). Wow ternyata di gang ini juga dijual berbagai macam makanan bahkan buat saya pribadi jauh lebih menarik daripada Gang Gloria.
Yang dijual disitu banyak banget. Mulai beberapa masakan yang ada di Gang Gloria, seperti ketupat sayur atau mie ayam sampai makanan mirip dim sum yang saya lupa namanya tapi terlihat enak banget karena banyak yang ngantri tapi sayang sekali lagi mengandung B2. Akhirnya, ibu saya beli gorengan dari buah cempedak. Jarang-jarang kan makan cempedak tapi saya harus akui harganya kelewat mahal, yaitu Rp7.000 tapi emang enak sih. Lalu ada juga penjual kue kering yang mebuat saya terpikat dengan tampilan nastarnya. Sangat cantik tapi sayang mahal banget harganya, satu stoples standar seharga Rp110.000. Lalu saya membeli kue yang kata penjualnya namanya kue roda. Bentuknya seperti bakpia tapi dalam ukuran raksasa. Pilihan isinya macam-macam, mulai dari yang standar seperti cokelat sampai yang unik seperti yang saya beli, yaitu rasa cempedak. Harga satu buahnya Rp15ribu. Dan rasanya enak banget dan ga terlalu manis.
Kue Roda Isi Cempedak
Ternyata perjalanan kami untuk ek Wihara Dharma Bhakti belum selesai juga dan kami tidak tau kemana arah jalannya. Akhirnya kami bertanya kepada warga yang ada di sekitar gang tersebut. Mereka bilang banyak sekali wihara di daerah tersebut, lalu saya bilang Wihara Dharma Bhakti dan mereka langsung tahu dan menjelaskan dengan ramah sekali.
Setelah tiba di ujung gang den menemukan pertigaan, kami berbelok kanan dan ibu saya tidak ikut ke wihara karena capek. Nah ternyata di jalan yang lebarnya tidak seberapa ini merupakan pasar kecil karena banyak sekali dijual kebutuhan memasak mulai dari sayur mayur hingga beberapa jenis hewan seperti kodok yang masih hidup dan teripang. Saya dan teman-teman saya awalnya tidak begitu tahu hewan tersebut (kami tahu teripang tapi tidak ngeh tepatnya). Tiba-tiba ada pedagang yang bilang kalo yang mereka jual itu *piiiiip*. Saya ga tau artinya apa tapi kebetulan dua orang temen saya tinggal di Bandung dan Kuningan jadi mereka tau artinya. Artinya adalah alat kelamin pria. Oh. Saya pernah denger deng kata tersebut tapi ga inget.
Sampailah kami di Wihara Dharma Bhakti. Hmmm pemandangan pertama yang saya dasari adalah banyaknya jumlah pengemis. *sigh* Seingat saya wihara tersebut terdiri dari 4 bangunan. 3 bangunan untuk ibadah dan satu bangunan untuk klinik. kami berempat langsung masuk ke bangunan yang paling kan dan paling besar. kami hanya melihat-lihat wihara tersebut tapi ada beberapa warga yang sedang beribadah dan juga orang yang sedang mengambil foto. Saya sendiri memutuskan hanya akan mengambil foto di luar wihara, tidak di dalam karena prinsip tempat ibadah tapi saya yakin pengurus wihara memperbolehkan kita untuk mengambil foto karena dua orang fotografer yang sedang mengambil foto sedang dijelaskan oleh seseorang tentang interior banguna tersebut. Oya di dalam wihara tersebut sedang dilakukan pemugaran untuk menyambut imlek dan banyak lilin raksasa yang masih dibungkus kertas cokelat. Saya sendiri hanya memasuki satu bangunan di lingkungan wihara tersebut karena saya takut salah masuk, takutnya hanya untuk yang ibadah saja dan takut salah tata caranya. Intinya ketika saya melihat-lihat eksterior wihara tersebut, saya merasa sedang di oasis di tengah Jakarta yang padat dan rumit. Ada ketenangan di dalamnya meskipun saya seorang Muslim.
Satu-satunya Bangunan Wihara yang Saya Masuki
Perjalanan saya dan seorang teman berakhir di wihara tersebut karena saya harus mengantar ibu saya ke Pasar Blok A. Ada satu kejadian yang lucu ketika kami kembali dari wihara dan ingin bertemu ibu saya, yaitu kaki saya terlindas bajaj. Auuw! Sakitnya lumayan sih tapi ga kerennya itu loh, kelindes bajaj. Jadi ceritanya saya bisa kelindes bajaj adalah jalan yang begitu sempit dan banyak motor yang lalu lalang sehingga membuat bajaj kesulitan untuk lewat akhirnya saya yang jadi korban.
Intinya perjalanan saya ke Petak Sembilan tersebut amat sangat berkesan bahkan saya mengakui sebagai salah satu hal paling menarik yang pernah terjadi pada saya. Bahkan ketiga teman saya bilang kalo mereka ke Jakarta lagi, mereka akan menyempatkan diri ke Petak Sembilan. Saya seneng banget teman-teman saya bilang gitu. Maklum mereka ke Petak Sembilan atas ajakan saya dan kebetulan mereka berasal dan bekerja dari tiga propinsi yang berbeda. Saya juga belajar banyak tentang toleransi dan sadar kalo toleransi beragama itu memang luar biasa indah. Betapa ramah sekali warga sekitar Petak Sembilan kepada kami. Benar-benar membuka mata dan pikiran banget. Saya bisa bilang kalo akhirnya saya seneng jadi orang Indonesia kalo kita punya tempat seeksotis Petak Sembilan beserta kebudayaannya yang menarik yang tak lekang zaman dan dipenuhi warga yang ramah.
Sudah pasti saya akan ke Petak Sembilan lagi di masa yang akan datang dan saya berharap Anda juga mau untuk menyempatkan diri berkunjung dan menelusuri salah satu oasis di Jakarta tersebut. Andaikan ada kaos putih bertuliskan "I Love Petak Sembilan", sudah pasti akan saya kenakan kemana-mana.
No comments:
Post a Comment