Saturday, October 8, 2016

Athirah dan Generasi Pra-Millenial

Minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film Athirah yang disutradarai oleh Riri Riza. Awalnya saya cukup skeptis ketika tahu siapa sosok Athirah sebenarnya. Beliau adalah ibunda dari Wakil Presiden RI saat ini, Jusuf Kalla. Kenapa saya skeptis? Karena saya khawatir apabila film ini hanya akan mendewakan sosok Pak JK meskipun ini kisah ibunda beliau. Namun, saya salah 100%. Athirah tidak menjadi film yang berbau politik dan mendewakan Pak JK. Athirah adalah film tentang wanita dan keluarganya.

Athirah dimulai dengan pindahnya orang tua Jusuf Kalla ke Makassar pada awal tahun 1950-an. Di Makassar mereka memulai usaha berdagang kelontong yang pada akhirnya menjadi sukses dan terkenal seantero Makassar seperti mengutip salah satu rekan sekolah Jusuf Kalla, “siapa yang tidak tahu Bapak kamu Cup”. Seperti masalah klasik beberapa pria sukses di umur 40an, ayah Jusuf Kalla kepincut wanita lain dan akhirnya melakukan poligami tanpa seizin atau sepengetahuan Athirah. Awalnya, Athirah hanya curiga namun akhirnya ia menanyakan hal ini kepada anak buah kepercayaan suaminya. Kecurigaannya diamini oleh sang anak buah.

Kisah poligami ini pun akhirnya diketahui oleh banyak orang yang pada akhirnya cukup mempengaruhi kesan Jusuf Kalla dimata keluarga anak gadis yang ditaksirnya. Mereka khawatir apabila sang ayah melakukan poligami, hal tersebut dapat “menurun” kepada anaknya.

Sebenarnya tidak terlalu banyak cerita yang bisa diceritakan kembali dari film Athirah tetapi ada beberapa hal yang dapat saya amini. Sikap Athirah dalam menghadapi masalah keluarga yang sedang dihadapinya mengingatkan kisah ibunda saya sendiri tentang orang-orang tua zaman dulu. Generasi kakek nenek saya dan sebelumnya, terutama kaum perempuan. Yang saya bisa amini adalah tentang pengorbanan, pengabdian dan kesetiaan mereka terhadap keluarga.

Bagaimana Athirah tetap bertahan dalam pernikahannya bahkan tidak pernah sedikit pun mengkonfrontasi suaminya. Pun ketika ia melihat suaminya menghadiri resepsi pernikahan kerabatnya, ditemani si isteri muda. Ia hanya diam dan pulang walaupun, melalui sosok Cut Mini yang berakting dengan sangat gemilang di sini dan seperti biasanya, kita semua paham ia sangat hancur. Athirah juga mencoba untuk tidak selalu bergantung kepada sang suami terkait ekonomi. Karena ia mencintai kain tenun Sulawesi Selatan maka ia melakukan jual beli kain tenun tersebut yang keuntungannya ia investasikan dengan membeli perhiasan. Ia tidak memakainya dan hanya menyimpannya. Ia pun tetap mengurus anaknya dengan baik dan tidak pernah lupa untuk turun ke dapur langsung untuk membantu pembantunya memasak. Bahkan ia tidak pernah lupa menjawab salam suaminya yang berangkat kerja atau keluar rumah meskipun jawaban salam itu tidak pernah ia ucapkan di depan suaminya. Hal yang menurut saya sangat simbolis. Di satu sisi ketika ia tidak menjawab salam suaminya secara langsung, hal tersebut merupakan tanda bahwa ia tidak pernah menyetujui poligami yang dilakukan oleh suaminya. Di sisi lain, jawaban salam yang tetap ia ucapkan adalah tanda bahwa, “aku masih istrimu dan engkau masih suamiku, maka aku jawab salammu”. Dengan semua tindakannya tersebut, Athirah masih sangat menghormati keluarganya dan menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

Hal-hal yang dilakukan oleh Athirah tersebutlah yang membuat saya teringat dengan generasi kakek nenek saya. Kakek saya meninggal ketika ibu saya masih berumur tujuh tahun. Ia memiliki lima orang anak, dengan yang paling tua berumur delapan tahun dan yang paling kecil berumur lima bulan. Hal yang sangat tidak bisa dibayangkan ditinggalkan oleh suami dengan anak sebanyak dan seusia itu. Nenek saya juga tidak bekerja. Kakek saya adalah tentara. Pada pertengahan 1960-an, tentara bukanlah profesi dengan uang melimpah, sekalipun jabatan kakek saya saat itu terbilang tinggi. Jangan lupakan pula pada saat itu adalah dekade 60 dimana situasi seluruh aspek di Indonesia sedang tidak baik.

Nenek saya adalah wanita Pasundan yang cantik. Saya masih mengingat dengan baik ketika ayah saya mengatakan kepada saya bahwa nenek saya dan ibundanya (nenek buyut saya) adalah sosok terbaik yang pernah ayah saya kenal. Cantik luar dalam. Tidak pernah ayah saya mengenal sosok sebaik mereka berdua. Padahal ayah saya bukanlah sosok yang mudah untuk memuji. Jadi tidak heran apabila ada beberapa pria yang berusaha melamar nenek saya setelah kakek saya meninggal namun selalu ditolak oleh nenek saya. Dengan alasan? “Saya masih mencintai suami saya”. Jadi nenek saya lebih memilih membesarkan anak-anaknya seorang diri daripada dibantu oleh suami kedua. Hal tersebut ia lakukan sebagai bentuk rasa cinta kepada suaminya. Beruntung keluarga saya memiliki pembantu yang sangat mengabdi. Meskipun tahu bahwa keluarga ibu saya tidak seperti dulu lagi dari kondisi keuangannya, namun si Mbok tetap setia. Hal inilah yang sudah sangat sulit kita temui pada sosok pekerja rumah tangga atau profesi lainnya. Kesetiaan dan pengabdian.

Ibu saya juga pernah bercerita ketika salah seorang tante saya akan menikah, mantan supir keluarga ibu saya ketika kakek saya masih hidup, datang membantu persiapan pernikahan tante saya. Ia mengantar ibu saya kesana kemari membeli kebutuhan acara. Alasan beliau datang membantu? Beliau terus mengingat kebaikan kakek dan nenek saya dan dengan datang membantu adalah satu bentuk ucapan terima kasih kepada kakek nenek saya. Kesetiaan.

Ketika ibu saya beserta saudara-saudaranya beranjak dewasa dan membutuhkan pekerjaan, mengingat tidak memiliki biaya untuk kuliah, banyak teman kakek saya langsung membantu dan menawarkan pekerjaan. Alasannya selalu sama, selalu ingat kakek saya. Atau ketika kakak ibu saya masih duduk di bangku sekolah menengah, nenek saya kewalahan mengurus anak-anaknya, akhirnya ada salah seorang guru uwak saya yang langsung membantu. Beliau mempersilahkan uwak saya untuk tinggal dengannya bahkan ada beberapa keluarga teman uwak saya yang juga ikut membantu. Kebetulan uwak saya dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan disukai oleh teman-temannya.

Beberapa kisah tersebut tidak bisa tidak muncul di dalam kepala saya ketika menonton Athirah karena Athirah menyentuh isu tentang kesetiaan. Di tengah penyajian kecantikan alam dan kain Sulawesi Selatan (hormat saya untuk Chitra Subyakto yang selalu apik) dalam layar film Athirah, saya seperti ditarik ke belakang oleh kisah ini. Mencoba menerka seperti apa hidup di tahun 1950an dan 1960an ketika pada saat itu masih jamak kita temui sosok-sosok seperti Athirah atau orang-orang di sekeliling keluarga ibu saya. Bahwa masih banyak orang yang mau tulus membantu tanpa diminta dan tanpa pamrih.

Saya pun lantas membandingkan dengan generasi saya yang sangat mementingkan kepentingannya sendiri. Memang benar masih banyak orang-orang generasi saya yang masih memiliki sikap seperti generasi kakek nenek saya tapi saya rasa lebih banyak yang sebaliknya. Ada yang bergabung dengan komunitas mengajar lalu mengunggah aktivitas mengajar gratisnya di media sosial dengan caption, “I’ve done something real good for my community!!”. Padahal hanya mengajar sehari. Atau yang bergabung di organisasi kemahasiswaan bukan untuk mengembangkan diri dan kampusnya tetapi lebih karena agar CV dia ketika mencari kerja nanti mentereng. Atau ketika ada yang mendapatkan beasiswa yang menggunakan uang negara dan seharusnya kembali untuk membangun negeri, ia malah menetap di luar negeri. Atau menanyakan terlebih dahulu besaran uang yang akan diterima pada pekerjaannya ketimbang besaran pengabdian yang dapat kita berikan kepada pekerjaan kita.

Saya pun bukan siapa-siapa yang lantas berhak menghakimi kisah-kisah di atas. Mereka tentu punya hak sebesar yang saya miliki. Tetapi saya hanya menginginkan, karena kata merindukan sepertinya tidak tepat, untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat yang setiap individunya memiliki sikap simpati terhadap orang lain. Siap melakukan pengorbanan luar biasa kepada orang-orang kita kenal.

Bukankah melakukan pengorbanan atau membantu dengan sungguh-sungguh orang yang lebih kita kenal pada dasarnya lebih sulit daripada membantu orang yang kita tidak terlalu kenal. Hal tersebutlah yang sudah dijalankan oleh generasi kakek nenek kita, suatu sikap yang generasi saya, generasi Millenial, harus banyak belajar. Agar generasi Millenial dapat mundur sejenak dari seluruh gadget yang dimiliki dan dorongan mengunggah di media sosial untuk dapat melihat di sekeliling kita, adakah orang yang kita kenal dengan baik yang perlu untuk dibantu. Adakah kesetiaan dan pengorbanan yang dapat kita berikan.


Terlepas dari semua isu tersebut, Athirah memang bukan film sempurna malah terkesan nanggung tetapi romantisme masa lalu yang ditampilkan cukup membuat saya berpikir, menyukainya dan menasbihkannya menjadi salah satu film favorit saya untuk tahun ini.