Saturday, October 8, 2016

Athirah dan Generasi Pra-Millenial

Minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film Athirah yang disutradarai oleh Riri Riza. Awalnya saya cukup skeptis ketika tahu siapa sosok Athirah sebenarnya. Beliau adalah ibunda dari Wakil Presiden RI saat ini, Jusuf Kalla. Kenapa saya skeptis? Karena saya khawatir apabila film ini hanya akan mendewakan sosok Pak JK meskipun ini kisah ibunda beliau. Namun, saya salah 100%. Athirah tidak menjadi film yang berbau politik dan mendewakan Pak JK. Athirah adalah film tentang wanita dan keluarganya.

Athirah dimulai dengan pindahnya orang tua Jusuf Kalla ke Makassar pada awal tahun 1950-an. Di Makassar mereka memulai usaha berdagang kelontong yang pada akhirnya menjadi sukses dan terkenal seantero Makassar seperti mengutip salah satu rekan sekolah Jusuf Kalla, “siapa yang tidak tahu Bapak kamu Cup”. Seperti masalah klasik beberapa pria sukses di umur 40an, ayah Jusuf Kalla kepincut wanita lain dan akhirnya melakukan poligami tanpa seizin atau sepengetahuan Athirah. Awalnya, Athirah hanya curiga namun akhirnya ia menanyakan hal ini kepada anak buah kepercayaan suaminya. Kecurigaannya diamini oleh sang anak buah.

Kisah poligami ini pun akhirnya diketahui oleh banyak orang yang pada akhirnya cukup mempengaruhi kesan Jusuf Kalla dimata keluarga anak gadis yang ditaksirnya. Mereka khawatir apabila sang ayah melakukan poligami, hal tersebut dapat “menurun” kepada anaknya.

Sebenarnya tidak terlalu banyak cerita yang bisa diceritakan kembali dari film Athirah tetapi ada beberapa hal yang dapat saya amini. Sikap Athirah dalam menghadapi masalah keluarga yang sedang dihadapinya mengingatkan kisah ibunda saya sendiri tentang orang-orang tua zaman dulu. Generasi kakek nenek saya dan sebelumnya, terutama kaum perempuan. Yang saya bisa amini adalah tentang pengorbanan, pengabdian dan kesetiaan mereka terhadap keluarga.

Bagaimana Athirah tetap bertahan dalam pernikahannya bahkan tidak pernah sedikit pun mengkonfrontasi suaminya. Pun ketika ia melihat suaminya menghadiri resepsi pernikahan kerabatnya, ditemani si isteri muda. Ia hanya diam dan pulang walaupun, melalui sosok Cut Mini yang berakting dengan sangat gemilang di sini dan seperti biasanya, kita semua paham ia sangat hancur. Athirah juga mencoba untuk tidak selalu bergantung kepada sang suami terkait ekonomi. Karena ia mencintai kain tenun Sulawesi Selatan maka ia melakukan jual beli kain tenun tersebut yang keuntungannya ia investasikan dengan membeli perhiasan. Ia tidak memakainya dan hanya menyimpannya. Ia pun tetap mengurus anaknya dengan baik dan tidak pernah lupa untuk turun ke dapur langsung untuk membantu pembantunya memasak. Bahkan ia tidak pernah lupa menjawab salam suaminya yang berangkat kerja atau keluar rumah meskipun jawaban salam itu tidak pernah ia ucapkan di depan suaminya. Hal yang menurut saya sangat simbolis. Di satu sisi ketika ia tidak menjawab salam suaminya secara langsung, hal tersebut merupakan tanda bahwa ia tidak pernah menyetujui poligami yang dilakukan oleh suaminya. Di sisi lain, jawaban salam yang tetap ia ucapkan adalah tanda bahwa, “aku masih istrimu dan engkau masih suamiku, maka aku jawab salammu”. Dengan semua tindakannya tersebut, Athirah masih sangat menghormati keluarganya dan menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

Hal-hal yang dilakukan oleh Athirah tersebutlah yang membuat saya teringat dengan generasi kakek nenek saya. Kakek saya meninggal ketika ibu saya masih berumur tujuh tahun. Ia memiliki lima orang anak, dengan yang paling tua berumur delapan tahun dan yang paling kecil berumur lima bulan. Hal yang sangat tidak bisa dibayangkan ditinggalkan oleh suami dengan anak sebanyak dan seusia itu. Nenek saya juga tidak bekerja. Kakek saya adalah tentara. Pada pertengahan 1960-an, tentara bukanlah profesi dengan uang melimpah, sekalipun jabatan kakek saya saat itu terbilang tinggi. Jangan lupakan pula pada saat itu adalah dekade 60 dimana situasi seluruh aspek di Indonesia sedang tidak baik.

Nenek saya adalah wanita Pasundan yang cantik. Saya masih mengingat dengan baik ketika ayah saya mengatakan kepada saya bahwa nenek saya dan ibundanya (nenek buyut saya) adalah sosok terbaik yang pernah ayah saya kenal. Cantik luar dalam. Tidak pernah ayah saya mengenal sosok sebaik mereka berdua. Padahal ayah saya bukanlah sosok yang mudah untuk memuji. Jadi tidak heran apabila ada beberapa pria yang berusaha melamar nenek saya setelah kakek saya meninggal namun selalu ditolak oleh nenek saya. Dengan alasan? “Saya masih mencintai suami saya”. Jadi nenek saya lebih memilih membesarkan anak-anaknya seorang diri daripada dibantu oleh suami kedua. Hal tersebut ia lakukan sebagai bentuk rasa cinta kepada suaminya. Beruntung keluarga saya memiliki pembantu yang sangat mengabdi. Meskipun tahu bahwa keluarga ibu saya tidak seperti dulu lagi dari kondisi keuangannya, namun si Mbok tetap setia. Hal inilah yang sudah sangat sulit kita temui pada sosok pekerja rumah tangga atau profesi lainnya. Kesetiaan dan pengabdian.

Ibu saya juga pernah bercerita ketika salah seorang tante saya akan menikah, mantan supir keluarga ibu saya ketika kakek saya masih hidup, datang membantu persiapan pernikahan tante saya. Ia mengantar ibu saya kesana kemari membeli kebutuhan acara. Alasan beliau datang membantu? Beliau terus mengingat kebaikan kakek dan nenek saya dan dengan datang membantu adalah satu bentuk ucapan terima kasih kepada kakek nenek saya. Kesetiaan.

Ketika ibu saya beserta saudara-saudaranya beranjak dewasa dan membutuhkan pekerjaan, mengingat tidak memiliki biaya untuk kuliah, banyak teman kakek saya langsung membantu dan menawarkan pekerjaan. Alasannya selalu sama, selalu ingat kakek saya. Atau ketika kakak ibu saya masih duduk di bangku sekolah menengah, nenek saya kewalahan mengurus anak-anaknya, akhirnya ada salah seorang guru uwak saya yang langsung membantu. Beliau mempersilahkan uwak saya untuk tinggal dengannya bahkan ada beberapa keluarga teman uwak saya yang juga ikut membantu. Kebetulan uwak saya dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan disukai oleh teman-temannya.

Beberapa kisah tersebut tidak bisa tidak muncul di dalam kepala saya ketika menonton Athirah karena Athirah menyentuh isu tentang kesetiaan. Di tengah penyajian kecantikan alam dan kain Sulawesi Selatan (hormat saya untuk Chitra Subyakto yang selalu apik) dalam layar film Athirah, saya seperti ditarik ke belakang oleh kisah ini. Mencoba menerka seperti apa hidup di tahun 1950an dan 1960an ketika pada saat itu masih jamak kita temui sosok-sosok seperti Athirah atau orang-orang di sekeliling keluarga ibu saya. Bahwa masih banyak orang yang mau tulus membantu tanpa diminta dan tanpa pamrih.

Saya pun lantas membandingkan dengan generasi saya yang sangat mementingkan kepentingannya sendiri. Memang benar masih banyak orang-orang generasi saya yang masih memiliki sikap seperti generasi kakek nenek saya tapi saya rasa lebih banyak yang sebaliknya. Ada yang bergabung dengan komunitas mengajar lalu mengunggah aktivitas mengajar gratisnya di media sosial dengan caption, “I’ve done something real good for my community!!”. Padahal hanya mengajar sehari. Atau yang bergabung di organisasi kemahasiswaan bukan untuk mengembangkan diri dan kampusnya tetapi lebih karena agar CV dia ketika mencari kerja nanti mentereng. Atau ketika ada yang mendapatkan beasiswa yang menggunakan uang negara dan seharusnya kembali untuk membangun negeri, ia malah menetap di luar negeri. Atau menanyakan terlebih dahulu besaran uang yang akan diterima pada pekerjaannya ketimbang besaran pengabdian yang dapat kita berikan kepada pekerjaan kita.

Saya pun bukan siapa-siapa yang lantas berhak menghakimi kisah-kisah di atas. Mereka tentu punya hak sebesar yang saya miliki. Tetapi saya hanya menginginkan, karena kata merindukan sepertinya tidak tepat, untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat yang setiap individunya memiliki sikap simpati terhadap orang lain. Siap melakukan pengorbanan luar biasa kepada orang-orang kita kenal.

Bukankah melakukan pengorbanan atau membantu dengan sungguh-sungguh orang yang lebih kita kenal pada dasarnya lebih sulit daripada membantu orang yang kita tidak terlalu kenal. Hal tersebutlah yang sudah dijalankan oleh generasi kakek nenek kita, suatu sikap yang generasi saya, generasi Millenial, harus banyak belajar. Agar generasi Millenial dapat mundur sejenak dari seluruh gadget yang dimiliki dan dorongan mengunggah di media sosial untuk dapat melihat di sekeliling kita, adakah orang yang kita kenal dengan baik yang perlu untuk dibantu. Adakah kesetiaan dan pengorbanan yang dapat kita berikan.


Terlepas dari semua isu tersebut, Athirah memang bukan film sempurna malah terkesan nanggung tetapi romantisme masa lalu yang ditampilkan cukup membuat saya berpikir, menyukainya dan menasbihkannya menjadi salah satu film favorit saya untuk tahun ini.    

Saturday, February 27, 2016

Who Will Win, Should Win, Could Win and Should Have Been Nominated #Oscars2016

Here we come again!!! My favorite season of the entire year, the Oscars!!!! Oscar kali ini untuk kedua kalinya dihiasi dengan diskusi #OscarsSoWhite tapi saya tidak mau membahas itu, kita bahas aja ya bagian yang ringan, yaitu siapa yang akan menang, seharusnya menang dan yang seharusnya dinominasikan. Percayalah, terlalu banyak kerja keras tahun lalu yang tidak dinominasikan tahun ini. Ini sih prediksi sok tau saya untuk tahun ini.

1. BEST PICTURE
    Nominasi:
    - The Big Short
    - Bridge of Spies
    - Brooklyn
    - Mad Max: Fury Road
    - The Martian
    - The Revenant
    - Room
    - Spotlight

Will Win: The Revenant
     Sebenarnya saya benci sekali apabila ini terjadi. Dua setengah jam yang hanya diisi dengan gerutuan dan gerendengan Leonardo Dicaprio dengan segala komitmennya yang gila demi memerankan Hugh Glass, yep mulai dari makan hati bison, tidur di dalam kerangka kuda, kedinginan, keberuntungan melebihi kucing sekalipun, dicabik-cabik beruang dan Tom Hardy yang entah ngomong apa. Memang ada beberapa adegan yang wow dan sinematografi yang diberikan Emanuelle Lubezski juga tidak bikin sakit hati tapi sayangnya ketika nonton ini saya lebih merasa seperti nonton beberapa filmnya Terrence Malick ketimbang Inarritu. Sejujurnya saya belum pernah liat Oscar sekompetitif tahun ini. Tapi berhubung The Revenant sudah memenangkan Best Picture-Drama di Golden Globe, Best Film di BAFTA dan Directors Guild Awards jadi menurut saya yang akan menang ya film ini. 

Should Win: I DON'T KNOW. Between The Big Short and Spotlight
    The Big Short memenangkan penghargaan Producer Guild Awards dan Spotlight memenangkan Best Ensemble di Screen Actors Guild Awards, dua penghargaan yang bisa menjadi penanda untuk Best Picture di Oscar. Saya menyukai kedua filmnya walaupun ada satu hal yang saya merasa "kurang sreg" untuk masing-masing film. Saya hanya mengerti kulit permasalahan The Big Short dan menurut saya Spotlight kurang "berapi" . Kurang sreg disini bukan karena jelek ya. Kedua film ini disusun dengan telaten, satu hal yang tidak dimiliki oleh The Revenant.

Could Win: Mad Max: Fury Road
     Film yang paling menghibur di antara semua nominasi. Menyentuh isu feminisme, melahirkan icon terbaru bernama Furiosa, gitaris berapi tanpa tujuan (tapi menghibur), aksi tanpa henti dan tontonan yang gila. Sejujurnya saya paling ini melihat Mad Max menang.

Should Have Been Here: SICARIO (I LOVE IT!!), Carol and Straight Outta Compton
       Carol puitis dan Straight Outta Compton adalah film biopik musik yang tidak tipikal dan cerdas. Tapi favorit saya yang tidak masuk nominasi adalah Sicario, film yang disusun begitu tapi hingga beberapa saat setelah selesai menontonnya pun saya masih merasa deg-degan.


2. BEST DIRECTOR
    Nominasi:
    - Adam McKay "The Big Short"
    - Lenny Abrahamson "Room"
    - Alejandro Gonzales Inarritu 'The Revenant'
    - George Miller 'Mad Max: Fury Road'
    - Tom McCarthy 'Spotlight'

Will Win: Inarritu 'The Revenant'
     Yes, he has vision and I love 21 Grams and last year's champ, Birdman. Tapi The Revenant? Nope. Cukup sudah penjelasan saya di bagian Best Picture. Give the statue to someone else. 

Should Win: George Miller 'Mad Max'
    Mad Max adalah satu-satunya film paling gila, liar dan imajinatif yang saya tonton beberapa tahun terakhir yang tidak menyisakan ruang untuk bernapas meski sedetikpun bagi saya dan Miller bertanggung jawab untuk itu semua. Karier Miller juga telah terbentang selama puluhan tahun. A naked golden statue won't hurt him, right?

Could Win: Adam Mckay 'The Big Short'
    McKay adalah sutradara yang membawa kita ke Anchorman 2 dan Talladega Night. Kini, ia membuat film yang begitu cerdas hingga saya tidak bisa mengerti seutuhnya. Apa yang ia lakukan terhadap The Big Short dijalin begitu rapi dimana kita merasakan sedih, lucu dan muak di saat yang bersamaan. Plus cameo dari Margot Robbie akan diingat sepanjang masa.

Should Have Been Here: Ridley Scott 'The Martian', Todd Haynes 'Carol' and F. Gary Gray 'Straight Outta Compton'
     Sebuah tindakan kriminal ketika Scott tidak dinominasikan disini. Ia adalah sutradara yang telah memberi kita semua Alien, Thelma and Louise, Blade Runner, Gladiator, Black Hawk Down dan Prometheus (oh yeah, I love Prometheus) dan belum pernah menang sekalipun untuk Best Diretor! Seharusnya dengan mudah dia yang menang kategori ini. 
     Todd Haynes seperti melukis sekaligus berpuisi lewat Carol dan F. Gary Gray mampu membuat sebuah film biopik musikal dengan intense tanpa mengikuti pakem tipikal biopik lainnya (nothing to something, ups and downs).
    

3. BEST ACTOR
    Nominasi:
    - Bryan Cranston 'Trumbo'
    - Leonardo DiCaprio 'The Revenant''
    - Michael Fassbender 'Steve Jobs'
    - Matt Damon 'The Martian'
    - Eddie Redmayne 'The Danish Girl'

Will Win: DiCaprio
     Sudah pernah dinominasikan sebanyak 4 kali sebelum ini dan disebut sebagai salah aktor terbaik pada generasinya. Katanya. Saya sendiri tidak pernah mengerti dimana letak hebatnya DiCaprio. Saya baru bisa menyukainya semenjak Django Unchained, sebelum itu? Chao! Lalu kenapa DiCaprio seperti sudah pasti menang? Ya karena dua alasan yang sudah saya ungkapkan, timing dan status bintang besar. Sayangnya DiCaprio menang di kala ia memberikan penampilan yang hanya berisi dia menggerutu tanpa kata. Committed? Yes! The best one? Nope. 

Should Win: Michael Fassbender 'Steve Jobs'
      Kalo mau berbicara salah satu aktor terbaik di generasinya maka jawabannya adalah Fassbender. Lewat perannya sebagai bos Apple, Fassbender memberikan penampilan tanpa cela. Melihat dia mengucapkan jutaan huruf yang ditulis Aaron Sorkin saja sudah membuat saya kehabisan napas. Mengutip kata-kata teman saya, "Asik ya denger Fassbender ngomong aja". Saatmu akan tiba, Nak!! Sabarlah!! 

Could Win: No One. It's solely for Jack Dawson.

Should Have Been Here: Johnny Depp 'Black Mass'
      Semenjak Black Mass diputar di Toronto Film Festival, semua sudah yakin Depp adalah aktor yang sudah pasti akan dinominasikan di Oscar tahun ini. Ketika menonton Black Mass pun saya yakin pada saat itu ia sudah pasti dinominasikan. Kenyataannya ia absen dari semua ajang penghargaan, mulai dari Golden Globe, BAFTA dan tentunya Oscar. Ia hanya dinominasikan di Screen Actor Guild Awards dan Critics Choice Awards. Padahal melihat Depp di film ini membuat saya lega dan bahagia karena aktor yang selama ini saya tahu akhirnya kembali memerankan peran "waras" setelah bertahun-tahun menjalani peran-peran tidak jelas.


4. BEST ACTRESS
    Nominasi:
    - Cate Blanchett 'Carol'
    - Brie Larson 'Room'
    - Jennifer Lawrence 'Joy'
    - Charlotte Rampling '45 Years'
    - Saoirse Ronan 'Brooklyn'

Will Win: Brie Larson 'Room'
    Akhirnya Larson mendapatkan perhatian yang sudah semestinya ia terima sejak beberapa tahun yang lalu. Saya sendiri kurang mendapatkan 'feel' filmnya karena sangat menyukai bukunya dan menurut saya yang seharusnya mendapatkan perhatian adalah aktor cilik Jacob Tremblay. Lebih lanjut lagi, saya pernah melihat ia lebih baik daripada ini, yaitu di salah satu film favorit saya sepanjang masa, Short Term 12. Tapi saya tidak begitu peduli. I like her. The fastest rising star since Jennifer Lawrence, that's what The Hollywood Reporter called her. 

Should Win: Whoever wins, I'm happy except for Jennifer Lawrence
      Apabila Cate Balnchett tidak memenangkan Oscar keduanya dua tahun lalu maka ia berpeluang besar tahun ini dan penampilannya di Carol (walaupun bukan yang terbaik darinya) membuat saya terpukau. Sedangkan Charlotte Rampling telah berkarir puluhan tahun, ini nominasi pertamanya dan ia adalah salah satu aktris paling dihormati plus penampilannya (terutama menjelang akhir film) di 45 Years hampir membuat saya menangis karena begitu menyentuh. Tapi sebenarnya favorit saya adalah Saoirse Ronan. Di Brooklyn, ia menampilkan jangkauan akting yang luar biasa apalagi mengingat umurnya yang begitu belia. Sedangkan Jennifer Lawrence sudah membuat saya muak karena sudah terlalu banyak penghargaan yang diberikan kepadanya dan ia masih berusia 25 tahun!!! Tapi saya cinta Lawrence kok.

Could Win: It's Brie's year! End of discussion.

Should Have Been Here: Emily Blunt 'Sicario' dan Juliette Binoche 'Cloud of Sils Maria'
     Emily Blunt adalah salah satu aktris terbaik yang ada di luar sana dan ia belum pernah sekalipun dinominasikan Oscar! Penampilannya di Sicario cukup tergambarkan pada wajah dan bahasa tubuhnya. Tidak perlu banyak kata-kata terucap, kita dapat memahami dilema dan horor yang dialaminya. Sedangkan Binoche menampilkan performa yang begitu nyata sehingga saya percaya bahwa di kesehariannya, banyak selebriti di luar sana yang begitu berporos pada dirinya sendiri. 


5. BEST SUPPORTING ACTOR
    Nominasi:
    - Mark Ruffalo 'Spotlight'
    - Mark Rylance 'Bridge of Spies'
    - Sylvester Stallone 'Creed'
    - Tom Hardy 'The Revenant'
    - Christian Bale 'The Big Short'

Will Win: Orange Stallone 'Creed"
      He plays himself or the only role he could play for the last 40 years. So just give him an Oscar. Semuanya hanya tentang sentimental dan timing. Sama seperti DiCaprio. Selesai disini pembicaraan kita.

Should Win: Mark Rylance 'Bridge of Spies'
     Bridge of Spies (seperti nominee Best Picture lainnya) dibuat begitu dengan rapi, halus dan seksama walaupun saya tidak begitu bisa menikmatinya selayaknya saya menikmati film Spielberg lainnya. Bridge of Spies adalah tipikal film "It's good but it's not my bite". Kalopun ada yang membuat saya betah duduk selama dua jam di bioskop adalah penampilan Rylance yang begitu gemilang yang terkadang terkesan ambigu apakah ia protagonis atau antagonis. Penampilannya tidak gegap gempita dengan dialog tapi kuat dalam membius saya.

Should Have Been Here: Idris Elba 'Beasts of No Nations' dan Benicio del Toro 'Sicario'
     Sama seperti Depp, Idris Elba juga sudah dipastikan banyak orang akan dinominasikan di Oscar tahun bahkan sejak setengah tahun yang lalu ketika Toronto Film Festival digelar. Penampilannya sebagai 'warlord' yang karismatik tetapi tidak simpatik adalah pekerjaan yang sulit. Andaikan Academy voter cukup waras memberikan ruang baginya, niscaya masalah #OscarsSoWhite tidak akan terjadi. Sedangkan penampilan del Toro adalah penampilan terbaiknya dalam beberapa tahun terakhir. Apabila Mark Rylance CUKUP membuat kita bertanya siapa dirinya di Bridge of Spies, del Toro di Sicario SANGAT membuat saya bertanya-tanya siapa sosoknya dan ia adalah salah satu jantung Sicario.


6. BEST SUPPORTING ACTRESS
    Nominasi:
    - Jennifer Jason Leigh 'The Hateful Eight'
    - Rooney Mara 'Caro'
    - Rachel McAdams 'Spotlight'
    - Alicia Vikander 'The Danish Girl'
    - Kate Winslet 'Steve Jobs'

Will Win: Alicia Vikander 'The Danish Girl'
    Oh yes, Eddie Redmayne di The Danish Girl memang memukau tapi semua perhatian kita justru ada pada Vikander dimana pada tahun 2015 yang lalu memiliki tahun yang gemilang. Ia memberikan kompleksitas penampilan yang rumit. Ia harus mendukung, membantu sekaligus harus patah hati ketika suaminya memutuskan untuk mengganti kelamin. Energi dan jiwanya selalu ada di tiap detik penampilannya. Air matanya sudah cukup membuatnya layak mendapatkan Oscar.

Should Win: Vikander, all the way.

Could Win: Kate Winslet 'Steve Jobs'
    Oooh I love her in Steve Jobs. It's different than any other roles she's ever played. Disini Winslet tidak berperan sebagai wanita nelangsa yang dibelut korset, menarik kan? Menjadi pendamping yang selalu mengimbangi dan menyadarkan bagi Steve Jobs yang sifatnya keras bukan main. Ia bisa mengalah ketika Jobs sedang berapi-api dengan proyeknya tetapi ia juga bisa mengambil sikap ketika Jobs tidak memedulikan anaknya. Kate Winslet berhasil menghidupkan karakter yang begitu tangguh, cerdas, berani dan setia.

Should Have Been Here: Charlize Theron 'Mad Max: Fury Road' dan Kristen Stewart 'Cloud Sils of Maria'
    Mad Max: Fury Rad adalah Furiosa. Bahkan menurut saya subjudul yang seharusnya adalah Fury Furiosa. Charlize menciptakan karakter yang akan terus diingat sepanjang masa sebagai heroine yang tangguh, sekelas Ripley di saga Alien. Ia menghidupkan karakter Furiosa lewat keahliannya, yaitu raut wajahnya yang seringkali cukup menggambarkan kata-kata yang tertulis di naskah. Saya rasa ini adalah kejahatan ketika Charlize tidak mendapatkan pengakuan apapun dari awards season tahun ini. Sedangkan untuk Kristen Stewart, saya saja tidak menyangka akan mengatakan ini. She's that great in Cloud of Sils Maria. Mengimbangi aktris sekaliber Juliette Binoche bukanlah tugas yang mudah. Agak sulit menggambarkan sebagus apa dia di Maria karena tidak ada bombardir kata-kata dalam perannya tapi kehadirannya di tiap adegan begitu kuat terutama ketika ia berlatih membaca naskah dengan karakter yang dimainkan Binoche. Dari si wajah datar menjadi aktris Amerika pertama yang meraih Best Actress di Cesar Awards. 


Itu semua prediksi saya. It's just for fun. Can't wait for Monday Morning! 




Monday, January 11, 2016

FAKE.

Anna : Elsa? Haaaaaai...!!! *heboh*
Elsa : Anna? Darimanaaa...? *balik heboh*


Kejadian di atas terjadi di sepasang eskalator yang berlawanan arah di sebuah mall premium di bilangan Jakarta dimana kedua wanita tersebut hanya sekadar berpapasan di eskalator tersebut tanpa memiliki perbincangan lebih lanjut. Saya pun menimpali kejadian tersebut (dimana saya kebetulan mengenal keduanya dan pada saat kejadian berlangsung berada persis di sebelah salah satunya), “lo ramah amat sama dia? Dia kan dulu ga disukain sama temen2 les gue. Gue dulu sekelas lesnya sama dia” yang lalu ditimpali oleh kawan saya itu, “aaah gue juga cuma fake aja kok, gue juga ga suka sama dia”. Duaar..!!! Saya tidak menyadari saat itu kalo temen saya itu kurang menyukai teman kami tersebut meskipun kejadian saling berpapasan heboh tersebut terlihat tulus. Ternyata saya salah.

Kejadian tersebut telah terjadi beberapa bulan yang lalu kalau tidak salah sekitar 3 bulan yang lalu dan saya masih ingat dengan jelas bagaimana setelah teman saya bilang kalo dia “cuma fake aja” kepada teman kami tersebut, saya langsung berpikir seberapa seringkah kita bersikap fake atau palsu kepada orang lain, terutama kepada yang tidak kita sukai bahkan kita benci? Sebaik apakah akting kita dalam bersikap fake tersebut? Dan mengapa kita harus bersikap fake?
Karena masih dihantui kejadian tersebut, saya kadang berpikir apakah saya pernah dalam posisi teman saya tersebut, sebut saja si Elsa, yang bersikap palsu kepada orang yang tidak saya sukai. Jawabannya, sering. Saya sendiri dikenal oleh orang-orang di sekitar saya sebagai pribadi yang to-the-point, pribadi yang “I ain’t taking no shit from others and say no shit” yang diibaratkan apabila saya mengikuti kontes Miss Universe, saya tidak mungkin mendapatkan gelar Miss Congeniality.

Meskipun saya adalah pribadi yang blak-blakan dan apa adanya tentu saja saya pernah bersikap palsu terhadap orang yang tidak saya sukai bahkan saya benci. Ketika mengingat kembali mungkin saya sudah melakukan hal ini semenjak saya SMA ketika saya tidak menyukai beberapa kakak kelas saya dan demi keamanan posisi saya di sekolah, saya harus bersikap manis kepada mereka. (Tolong, jangan berasumsi saya anak yang femes ketika SMA hanya karena saya mengatakan “posisi saya”, I was invicible. Totally). Kenapa saya harus bersikap manis ketika diri saya sendiri tidak menyukai mereka. Jawabannya sederhana, SMA saya bukanlah sekolah dimana Anda bisa bersikap semau Anda, sekolah dimana senioritas adalah makanan sehari-hari yang lebih awam daripada nasi sekalipun.

Saya ingat salah satu kakak kelas saya luar biasa drama queen, semua hal dipermasalahkan bahkan ketika cintanya ditolak pun bisa nangis berderai-derai. (Jeez, I’m gonna be killed because of this). Saya dan teman-teman saya luar biasa tidak suka kepada dia bahkan beberapa teman saya yang tidak berada di lingkup pertemanan saya pun bercerita kalo mereka tidak suka dengan si kakak kelas ini. Tapi kami semua bersikap manis dengan beberapa alasan. Pertama, kami tidak mau mencari masalah dengan pribadi yang emosinya naik turun. Kedua, kami tidak mau mencari masalah yang ujungnya bisa memperuncing perselisihan antar angkatan yang bisa berdampak mimpi buruk (tapi juga bisa menguntungkan sih, sekolah libur di waktu tidak umum? Ikut!). Ketiga, saya tidak mau dicirikan oleh kakak kelas saya tersebut lalu lama-lama dicirikan juga oleh kakak kelas saya yang lainnya (pede aja).

Lalu berlanjut ketika kuliah dimana meskipun saya sama sekali tidak menyukai salah seorang pegawai sekretariat kampus saya, saya harus luar biasa manis demi perkuliahan saya lancar meskipun pegawai tersebut pernah membuang muka di depan saya tanpa alasan yang jelas atau pernah dijutekin lebih dari 10x. Dan jangan tanya dengan kondisi saya saat ini. Jangan.

Saya pun pernah memperhatikan orang lain yang dengan jelas bersikap seperti ini. Saya pernah datang ke sebuah bank bonafide di negeri ini dimana petugas customer service yang melayani saya memeberikan senyuman dan sambutan yang langsung dibatini oleh saya, “Yaelah mbak, saya aja palsunya masih lebih baik daripada mba padahal mba kerja di perusahaan yang lebih wow”. Bahkan kalo mau gampangnya pramugari sekelas pramugari Garuda Indonesia pun sering saya perhatikan bersikap ramah yang luar biasa palsu. Saya bisa paham dengan sikap mereka yang pasti lelah melayani ratusan bahkan ribuan orang yang berperangai berbeda-beda. Belum lagi, mengingat saya pernah dalam sebulan bisa sekian kali bolak-balik memakai pesawat, saya yakin bekerja di udara bukanlah hal yang benar-benar nyaman.

Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal saya, seberapa seringkah, seberapa baikkah dan mengapa kita bersikap palsu? Saya rasa apabila Anda sudah bekerja, Anda akan memainkan kartu fake tersebut lebih sering daripada ketika Anda kuliah, seberapapun usaha tulus Anda untuk menunjukkan sinyal “saya cuma mau kerja kok, ga mau macem-macem”. Ketika anda berada di lingkungan kerja, Anda tidak bisa memilih rekan kerja Anda, tidak seperti ketika kuliah atau sekolah dimana kita bisa memilih teman-teman kita. Ketika di lingkungan kerja, Anda harus berhadapan dan bekerja sama dengan berbagai macam manusia mulai dari yang senang bergosip (me!), pekerja keras ataupun pain in the ass. Ketika Anda berhadapan dengan pegawai yang pekerja keras, saya yakin Anda pada satu titik juga terbawa arus kinerjanya. Kadang Anda ingin bersantai dulu tetapi melihat rekan kerja Anda begitu rajinnya sehingga membuat Anda harus juga ikut lebih rajin daripada biasanya. Fake #1. Ketika Anda bekerja dengan si bigos jangan tanya seberapa sering Anda harus bersikap manis kepadanya. Anda tidak mau kan jadi bahan gosip kemana-mana olehnya. Fake #2. Lalu bagaimana dengan yang pain-in-the-ass? Tergantung kalo menurut saya. Tergantung kondisi. Ada saatnya Anda harus blak-blakan ada saatnya Anda harus masa bodoh ada saatnya Anda harus palsu. Fake #3.

Saya sendiri terkadang (atau sering kali) harus bersikap palsu mengingat pekerjaan saya yang membuat saya sering bertemu dengan pihak luar. Ketika saya sedang lelah, kesal, ngantuk ataupun sedih, saya harus melayani pihak luar dengan sebaik yang saya mampu, memberikan senyuman terbaik saya, menebarkan keramahan dengan seanggun mungkin. Hal ini pada akhirnya berujung kepada pertanyaan mengapa kita bersikap palsu. Sederhana saja, saya tidak mau nama baik tempat saya bekerja tercoreng hanya karena saya menolak untuk bersikap palsu. Untuk bersikap ramah meskipun suasana hati saya sedang tidak ingin beramah tamah. Ketika saya sendiri tidak pernah nyaman untuk bertemu dengan orang baru apalagi harus memulai perbincangan yang luwes. Bagaimanapun, kantor saya adalah tempat saya mencari nafkah, menimba ilmu, mencari pengalaman hidup dan paling penting tempat dimana membiayai gaya hidup saya yang terlalu seberapa ini. Haha.

Apakah saya sebaik itu ketika bersikap palsu? Sayangnya tidak. Saya ingat seseorang atau bahkan banyak orang yang bilang kalo saya tidak menyukai sesuatu langsung tergambar di wajah saya. Semudah itu. Tapi percayalah saya sangat mampu bersikap palsu dengan lihai. Saya ingat kejadian ketika saya makan siang dengan salah seorang rekan. Saya sedang luar biasa kesal dan ngedumel tentang suatu hal lalu satu detik kemudian saya menerima telepon dari salah seorang “stakeholder” kantor saya. Ketika menjawab telepon suara dan nada saya langsung berubah total. Ketika saya mengakhiri pembicaraan lewat seluler, teman saya tersebut langsung terperangah dan bilang, “gila! gue salut sama lo, bisa langsung berubah drastis dari marah jadi ke super ramah dan manis kayak gitu”. Kesimpulannya sih, tergantung yang dihadapi siapa. Kalo bigos yaaa Anda harus selihai mungkin. Kalo pain-in-the-ass saya rasa seorang ustad, rabi atau pendeta pun pasti sabarnya terbatas. Terkadang Anda akan menunjukkan ketidaksukaan Anda pada si pain-in-the-ass ini.

Bersikap palsu juga bagi saya bisa bertujuan untuk melindungi perasaan orang yang kita hadapi ketika kita tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik. Seberapa seringkah Anda menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik kepada orang yang Anda tidak sukai? Saya yakin jarang atau bahkan tidak pernah. Kita sebagai manusia sering kali tidak memiliki keberanian atau kemampuan menjelaskan dengan baik kepada orang yang kita tidak sukai mengapa kita tidak suka mereka. Dengan cara yang seminim mungkin menyakiti mereka. Karena kita tidak mampu atau tidak berani maka kita memilih jalan yang lebih sederhana, yaitu palsu. Meskipun kita tahu terkadang kita tidak berhasil dalam bersikap palsu. Atau mungkin bukan karena Anda tidak bisa menjelaskan tetapi karena Anda tidak memiliki satu alasan pun mengapa Anda tidak menyukai orang tersebut. Seperti yang pernah saya katakan kepada salah seorang rekan tentang alasan kenapa saya tidak menyukai seseorang, “You don’t have to have valid reason to hate someone. You just hate them. Period.”

Intinya bersikap palsu adalah makanan kita sehari-hari tergantung alasannya. Untuk melindungi perasaan kah, untuk menjaga posisi aman kah, untuk menyudahi kelelahan batinkah, kita semua pernah di posisi palsu tersebut. Pernah melakukannya. Jadi sebenernya tidak pada tempatnya juga kan kita menghakimi orang-orang yang pernah melakukan ini. Hmmmm, tapi memang sih menghakimi orang lain begitu nikmat karena untuk sejenak kita dapat melupakan kepalsuan kita terhadap diri sendiri.

Psssttt... tapi jangan membiasakan bersikap palsu daripadalama-lama berubah menjadi si pain-in-the-ass. Semua ada kadar normalnya kecuali ya si pain-in-the-ass.


Wednesday, December 24, 2014

[Ulasan] Pendekar Tongkat Emas

      Jadi, setelah menunggu sekian lama untuk film Pendekar Tongkat Emas akhirnya saya berhasil juga menonton film ini hari Sabtu yang lalu. Saya rasa saya jarang sekali menantikan untuk menonton film lokal. Biasanya saya tidak pernah benar-benar menunggu sebuah film lokal tayang karena biasanya pula saya hanya reflek ketika menonton film lokal. Siapa pemainnya atau siapa sutradaranya. Tapi untuk kasus Pendekar Tongkat Emas berbeda. Saya pertama kali mengtahui tentang film ini adalah dari seorang teman saya dan akhirnya saya mencari tahu tentang film ini. Wow! Pemainnya top, sutradaranya top dan produsernya pun top. Saya semakin menunggu lah karena dua film lokal yang saya tonton tahun ini kualitasnya agak di bawah ekspektasi saya.
      Sebenarnya, plot cerita film ini sangat sederhana tetapi saya tidak akan membeberkan total plot ceritanya karena buat saya itu tidak asik sama sekali. Berkisah tentang Cempaka yang diperankan oleh Christine Hakim yang merupakan seorang pendekar yang disegani di dunia perseilatan antah berantah yang memiliki Tongkat Emas yang legendaris. Ia memiliki 4 orang murid, yaitu Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia) dan Angin (pendatang baru, Aria Kusumah), yang kesemuanya adalah anak dari para pendekar yang pernah dikalahkan oleh Cempaka. Suatu hari Cempaka memutuskan akan mewariskan Tongkat Emas kepada salah satu muridnya yang dianggap olehnya memiliki kualitas sebagai Pendekar Tongkat Emas. Maka dari itu ia akan mengajari jurus silat yang sangat jarang dikuasai dengan baik oleh pendekar lain, yaitu jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi. Ketika Cempaka memutuskan salah seorang muridnya maka timbulah rasa iri di hati murid-muridnya yang lain. Dari sinilah kisah berkembang walaupun tidak begitu banyak.
      Jujur, bagi saya plot PTE cukup lambat sehingga akan menimbulkan rasa bosan bagi penonton yang mengharapkan murni hiburan dari sebuah film. Tapi bagi saya hal ini tidak masalah karena saya sudah terbiasa menonton film-film yang "berat" walaupun saya akui saya sempat mengalami kebosanan di beberapa adegan dari film ini. Saya pribadi bukan penggemar film silat karena jujur dari kecil saya lebih terbiasa nonton film-film blockbuster Hollywood yang bertempo dinamis. Tapi saya rasa PTE adalah tipikal film silat kebanyakan (berdasarkan dari beberapa film silat yang pernah saya tonton, misalnya Crouching Tiger Hidden Dragons). Kisah PTE sendiri buat saya sulit diulas. Bagi saya loh ya. Tidak banyak aspek cerita yang bisa saya ulik. Kisahnya memang kisah kebaikan melawan kejahatan. Mungkin karena ini bisa dibilang film keluarga jadi kisahnya memang sengaja tidak dibuat rumit.
       Penampilan para aktornya pun terasa sulit berkembang. Christine Hakim seperti biasa memukau kita semua. Seluruh keletihan baik fisik maupun batin yang pernah ia alami begitu terasa, terutama melalui suaranya sebagai narator di awal film ini. Reza Rahadian pun juga tampil baik. Hanya melalui ekspresi wajahnya, kita dapat memahami kekecewaannya dan kemarahannya. Eva Celia pun juga tampil tidak buruk. Tapi yang mencuri perhatian saya adalah aktor cilik yang memerankan karakter Angin, yaitu Aria Kusumah. Ia tidak banyak berbicara tetapi aktingnya efektif. Ia selalu mencuri perhatian di setiap adegan ia muncul. Berakting dengan dialog saja sudah sulit apalagi hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah atau bahasa tubuh. Saya merasa terpukau olehnya. Kalaupun aktor yang tampil agak mengecewakan bagi saya adalah Nicholas Saputra. Bagi saya aktingnya datar dan kurang emosi sehingga saya tidak merasakan apa-apa dari karakternya. Bahkan karakter dingin rangga pun lebih berasa loh. Belum lagi akting Tara Basro yang sedikit mengganggu, misalnya kenapa ia harus selalu seperti tersenyum di tiap adegan, bahkan di adegan dimana ia harus marah. Tapi setelah saya perhatikan setelah menonton PTE, memang wajahnta seperti itu. Tapi karena dia seksi maka mudah dimaafkan. Plus matanya indah dan unik! (FYI, saya juga baru tau kalo ia adalah adik dari seorang temen saya ketika SD, yang notabene-nya ia pernah bersekolah di SD saya dan ia masih juga tinggal di satu komplek dengan saya!! Lumayanlah pernah kenal dengan orang femes walaupun berabad-abad tidak pernah ketemu san saya yakin kakaknya pun lupa dengan saya).
    Jualan utama film ini, yaitu adegan silatnya sangat bisa diacungi jempol. Sangat keren dan memukau. Walaupun saya yakin para aktornya menggunakan stuntman tapi saya tetap kagum dengan penampilan semua aktor utamanya dalam beradegan silat. Terlihat sungguhan dan dapat dipercaya. Cepat dan dinamis. Adegan silat terakhir di film ini adalah buktinya. Epik!!! Cukup menegangkan dan seperti tidak menyisakan ruang untuk bernapas bagi penontonnya. Jempol untuk Ifa Isfansyah sang sutradara (yang juga pernah menyutradarai salah satu film favorit saya, Sang Penari) yang mengarahkan film ini. Setau saya para aktornya digembleng selama berbulan untuk dapat menguasai dengan baik silat di film ini.
    Untuk urusan teknis film ini juga juara. Scoring film ini sangat juara. Lengkingan nyanyian tradisional ketika salah satu karakter utamanya dimakamkan sangat menyayat hati tapi juga indah di sisi lain. Saya sampai menunggu hingga bagian credit title loh untuk tau siapa komposernya. Ternyata Erwin Gutawa. Ga heran!!! Selain itu tata kostum oleh Chitra Subiyakto juga membuat saya kagum sampai-sampai saya kepengen banget suatu hari nanti bisa beli dan pake pakaian-pakaian yang dikenakan oleh pemainnya, seperti tenun Sumba dengan warna netral. Chitra Subiyakto perlu diacungi jempol karena dapat membuat kostumnya bukan seperti kostum yang baru dibuat melainkan seperti sudah lama dikenakan karena bagi saya salah satu kelemahan film lokal adalah tata kostum yang kadang kurang meyakinkan. Setting zaman perang atau zaman dulu tapi seperti pakaian baru yang baru dicuci atau dibeli. Tidak realistis. Tapi PTE tidak. Tapi saya langsung sadar yang kita bicarakan adalah penata kostum sekelas Chitra Subiyakto sih ya jadi ga heran.
     Sinematografi film ini juga menjadi salah satu titik paling unggul atau bahkan paling unggul dari PTE. Kita disajikan pemandangan indah Sumba, NTT yang berupa perbukitan kecil, padang sabana serta pantai yang indah yang mebuat saya makin merana karena makin ngiler pengen kesana. Saya menyesal lupa nama sinematografer untuk film ini (saya mempunyai penyakit untuk harus tau siapa-siapa saja nama orang di belakang layar sebuah film yang bagus). Bagi beberapa teman saya terkadang membuat pusing karena editing yang cepat dan terkadang terlalu zoom sehingga membuat kepala mereka pusing, tapi saya kok tidak ya? 
    Saya harus mengacungi jempol bagi Mira Lesmana dan Riri Riza sang produser yang sekali lagi mau mengeksplorasi bagian Indonesia yang lain untuk dijadikan lokasi syuting. Selain itu dengan ide mereka yang cerdas untuk membuat film silat yang lebih ramah bagi penonton Indonesia (karena The Raid tidak ramah untuk Anda yang stres liat darah bukan?). Saya selalu menyukai dynamic dua ini karena setia untuk memproduksi film-film bermutu walaupun belum semua film mereka saya tonton. Ouch!
     Meskipun memiliki kekurangan yang tidak begitu banyak di sana-sini tapi kita harus sangat mengapresiasi siapapun yang terlibat dalam Pendekar Tongkat Emas. Atas jerih payah mereka untuk memberika tontonan yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Saya selalu berharap semoga ke depannya banyak film Indonesia yang memiliki kualitas sebaik Pendekar Tongkat Emas. 
      Selesai menonton film ini ada perasaan bangga ternyata ada film Indonesia sebaik ini, dalam artian selama ini saya hanya menonton film lokal yang bagus banget hanya dari genre drama tetapi PTE adalah drama action. Bangga karena masih ada sineas lokal yang masih mau memproduksi film dengan kualitas seperti ini di tengah sikap apatis masyarakat Indonesia terhadap film lokal, film dari negerinya sendiri. Saya bangga pula saya telah menjadi bagian dari penonton yang telah menikmati film ini. Pendekar Tongkat Emas juga membuat saya berjanji pada diri saya sendiri agar mulai tahun 2015 untuk lebih sering lagi menonton film-film Indonesia yang bagus tentunya. Saya akan berusaha menepati janji saya itu.
       Sekali lagi, saya acungi jempol dan mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang terlibat dalam film ini (dan juga yang mau menonton film ini!). Terima kasih kepada kalian semua.

Tuesday, December 23, 2014

10 Most Fascinating Women in Hollywood - 2014

       Setelah absen pada daftar ini untuk tahun 2013, saya memutuskan untuk kembali membuat daftar ini. Karena pada dasarnya, mood menulis saya lagi kambuh, dalam artian yang baik. Selain itu, tentu saja karena kecintaan saya sedari kecil terhadap dunia pop culture. Menurut saya, tahun 2014 adalah tahun yang luar biasa bagi wanita di Hollywood. Begitu banyak nama-nama yang begitu memukau sepanjang tahun, jadi jangan heran apabila saya menemukan kesulitan untuk memilihnya. Maaf apabila tidak Scarlett Johansson dalam daftar ini. Kariernya tidak pernah sebaik ini. Memukau di Under the Skin, tampil sebagai "badass sidekick" di Captain America dan memegang kontrol penuh di Lucy. Atau Kerry Washington yang masih menjadi pembicaraan berkat perannya di Scandal. Atau Taylor Swift yang menjadi musisi wanita pertama yang berhasil menjual tiga albumnya lebih dari satu juta kopi dalam minggu peluncurannya. Tapi bukankah Taylor Swift termasuk wanita muda yang selalu memukau? Atau Iggy Azalea dan video klip Fancy-nya yang "instant iconic". Atau Kim Kardashian yang "literally breaking the internet" thanks to her infamous bottom and her marriage to always eccentric Kanye West. 
      Tapi bagi saya daftar tahun ini disusun karena saya melihat hal-hal menarik dalam diri nama-nama ini. Prestasi dan karakter adalah yang paling penting. Bagaimana apakah sudah dapat dimulai?

10. Kendall Jenner
  Oh, saya yakin Anda bertanya bagaimana bisa seorang Kardashian/Jenner bisa masuk ke daftar ini karena jelas-jelas mereka tidak mempunyai bakat yang jelas. Yah, bagi saya Kendall berbeda. Yang paling cantik? Iya, bagi saya. Tapi bukan karena itu tapi lebih karena ia saat ini adalah model yang paling dibicarakan dan umurnya baru saja 19 tahun. 
     Ia telah berjalan di pergelaran busana di New York, Milan dan Paris. Ia telah memeragakan karya dari Chanel, Givenchy, Tommy Hilfiger, Diane von Furstenberg dan Marc Jacobs. Baru saja ia menjadi wajah terbaru merk make-up ternama Estee Lauder. 
    Ia bukan tipikal bintang reality show yang biasa kita lihat. Ia telah melangkah sangat jauh bagi seorang yang mulai dikenal khalayak publik sebagai seorang bintang reality show. Bahkan lebih jauh daripada saudari tirinya, Kim Kardashian. Mematahkan stigma seorang bintang reality show bukanlah hal yang mudah bagi saya. Meskipun apa yang ia telah capai begitu banyak di usiannya, saya yakin masih ada yang menganggapnya bodoh, tidak berbakat dan beruntung karena lahir sebagai Jenner/Kardashian. Ada pula yang beranggapan ia bisa menjadi model seperti sekarang ini karena koneksinya yang luar biasa. Orang-orang bisa saja sinis dan mencibir karena koneksinya. Tapi apakah ada yang ingat apabila sutradara Sofia Coppola tidak memiliki ayah seorang Francis Ford Coppola, apakah ia akan seterkenal sekarang. Hal yang sama juga berlaku terhadap Drew Barrymore, Kate Hudson, Nicolas Cage atau Colin Hanks. Tapi apakah ada yang sinis terhadap mereka karena koneksi keluarga mereka. Jawabannya adalah tidak. Sejak kapan koneksi tidak dimanfaatkan ketika kita menginginkan sesuatu? 
       Maka, saya pun tidak peduli terhadap cibiran terhadap Kendall meskipun saya juga tidak peduli terhadap anggota keluarganya yang lain. Dan saya juga tidak peduli kalau Kendall beserta adiknya, Kylie telah menulis sebuah novel tahun ini dan juga meluncurkan merk busana. Saya peduli bahwa Kendall adalah wajah yang akan kita lihat paling tidak sampai 5 tahun ke depan.

9. Ariana Grande
    She's a bomb!!!! Tiny bomb with TNT power. Saya bukan fansnya tapi saya sulit menolak untuk mendengarkan apalagi menyayikan lagu-lagunya. Siapa yang tidak pernah mendegar Problem, Break Free, Bang Bang dan Love Me Harder sepanjang tahun ini. Mengusai radio dan juga Billboard. Semua single tersebut masuk dalam Top 10 Billboard 100 tahun ini walaupun tidak pernah menduduki peringkat pertama. Semua begitu adiktif.
     Album keduanya, My Everything, juga berhasil menduduki peringkat pertama Billboard 200 di minggu pertama penjualannya. Menjadikannya musisi wanita kedua setelah LeAnn Rimes yang berhasil menggiring 2 album dalam setahun ke peringkat pertama Billboard 200. Ia juga berhasil meraih MTV Video Music Awards tahun ini. Walaupun saya pribadi akhir-akhir ini meragukan kredibilitas penghargaan tersebut. Jangan lupakan pula ia dinominasikan untuk 2 Grammy tahun depan. Jalan masih panjang dan begitu terang bagi musisi 21 tahun ini.

8. Shailene Woodley
    Saya hampir selalu kehabisan kata-kata setiap kali melihat akting Woodley, terutama ketika ia bermain di film-film berbiaya rendah, seperti The Descendants (those tears!) dan The Spectacular Now. Setelah ia wara-wiri di musim penghargaan pada tahun 2012, saya sempat bertanya-tanya apakah ia akan muncul kembali mengingat setelah The Descendants, ia jelas tidak tampil di sebuah film. Saat itu saya menyayangkan, mengingat bakatnya dan tentu saja kecantikannya, kalau ia tidak tampil lagi atau publik tidak menyadari bakatnya. 
    Dan datanglah Divergent pada tahun ini. Semua mengubah kepopuleran bintang 21 tahun ini (Can we just stop talking about young age??? I feel so ancient!). Walaupun Divergent tidak memiliki kualitas sebaik The Hunger Games, tetapi tidak dapat dipungkiri apabila akting Woodley adalah kekuatan yang mengatrol kualitas film tersebut. Ia bersama Jennifer Lawrence membawa angin baru dalam menafsir ulang apa arti "girl power". 
    Beberapa bulan kemudian, ia tampil dalam film lain yang sama-sama diangkat dari sebuah novel "young adult", The Fault in Our Stars. Film ini makin mengukuhkan dirinya sebagai bintang. Ia tidak menampilkan karakter klise dalam film ini yang berbicara tentang penderita (kanker? Saya lupa. Maaf). Adegan dirinya bersama Laura Dern dalam film tersebut merupakan salah satu adegan film terbaik tahun ini. Tulus, menyentuh, membuat mata saya banjir air mata dan langsung ingat dan merindukan ibu saya. Hal ini tidak dapat terjadi apabila hanya keluar dari seorang aktris dengan kualitas rata-rata (atau apabila mengutip kata-kata Scott Rudin, "a minimally talented spoiled brat"). Adegan tersebut muncul karena kualitas dirinya (dan juga Dern). 
     Posisinya saat ini adalah posisi yang sangat berhak ia nikmati. Ia juga tidak malu dan begitu lantang terhadap isu-isu perempuan. Mengingat masih ada 3 film lanjutan Divergent, maka biasakan diri Anda untuk menatap kecantikan fisik dan bakat Woodley selama 3 tahun ke depan. Menonton penampilannya akan membuat Anda tenang dan yakin bahwa masa depan Hollywood masih cukup aman. 

7. Jennifer Lawrence 
    Sempat terpikir oleh saya untuk menempatkan dirinya pada peringkat pertama mengingat apa yang ia telah alami pada tahun 2014 ini. Dimulai dengan luar biasa, lalu terpuruk dengan cara yang tidak dapat kita semua bayangkan namun bisa bangkit kembali juga dengan cara yang di luar jangkauan kita sebagai manusia biasa. 
    Lawrence, bagi saya, adalah epidemi yang jarang kita lihat di Hollywood. Ia begitu muda, begitu berbakat dan begitu berpengaruh. Ia memulai tahun 2014 dengan gebrakan dengan meraih Golden Globe untuk kategori Best Supporting Actress untuk perannya di American Hustle. Ia terus wara-wiri sepanjang musim penghargaan tahun ini, termasuk sebagai nominee Oscar di kategori yang sama untuk peran yang sama walaupun ia kalah dari Lupita Nyong'O.
       Di bulan Mei, ia tampil di lanjutan X-Men, Days of Future Past. Film yang luar biasa bagi saya dan peran Lawrence disana tidak kecil tetapi cukup besar. Penampilannya yang memukau membuat film tersebut menjadi lebih baik lagi.
       Lalu datanglah bulan Agustus. Foto-foto telanjang Lawrence dan beberapa selebriti wanita lain tersebar di internet. Siapapun pasti akan kaget dengan hal tersebut. Jennifer Lawrence is our America's Sweetheart/Cool Girl. We love her. Bagaimana ini bisa terjadi? Ada apa dengan dia? Meskipun banyak nama-nama selebriti wanita terkenal di dalam daftar foto yang tersebar itu tetapi Lawrence lah nama yang paling besar dan bersinar. Saya pribadi langsung berpikir bagaimana ini bisa terjadi dan apa yang akan terjadi terhadap kariernya. Akhirnya pada Vanity Fair edisi November ia angkat bicara. Bagaimana ia berusaha untuk menghadapi "skandal" tersebut dan ia menolak meminta maaf seperti kebanyakan selebriti Hollywood yang terlibat "skandal" meskipun "skandal" tersebut bukan kesalahan mereka. Ia berusaha untuk menulis pernyataan meminta maaf tetapi semakin ia berusaha semakin ia berjuang dan menyadari bahwa hal tersebut bukan kesalahannya. Ia mengatakan foto-foto tersebut ia buat untuk kekasihnya saat itu, Nicholas Hoult (sekarang sudah tidak, fyi). Mereka menjalani hubungan jarak jauh yang artinya bagi Lawrence, "lebih baik ia melihat foto bugil saya daripada melihat porno. It's my body and it's my choice". Saya main menyukainya karena ia semakin menjadi antitesis bagi Hollywood. Ia tidak perlu meminta maaf apabila itu bukan kesalahannya.
     Kariernya pun terbukti tidak menjadi masalah. Film ketiga dari serial The Hunger Games, Mockingjay Part 1, tetap sukses di pasaran. Dunia masih ingin melihat Lawrence sebagai heroine, Katniss Everdeen. Walaupun Mockingjay tidak sesukses dua film pendahulunya. Tapi terlepas dari hal tersebut, Lawrence masihlah aktris utama di Hollywood. Semua masih membutuhkannya. Mencintainya. 

6. Lorde
     Single "Royals" pada dasarnya dirilis pada tahun 2013 dan menjadi hit besar pada saat itu. Bernada edgy dan gelap. Siapa yang menyangka bahwa lagu tersebut ditulis dan dinyanyikan oleh penyanyi berusia 17 tahun dan berasal dari Selandia Baru. Dan tidak hanya "Royals" yang menarik dari album debutnya, Pure Heroine, tetapi juga beberapa lagu yang lain.
  Awal tahun ini ia meraih 4 nominasi Grammy dan memenangkan 2 diantaranya, yaitu Song of the Year dan Best Pop Vocal Performance. Hal ini menjadikannya sebagai orang termuda ketiga yang pernah meraih Grammy dan menjadikannya sebagai orang Selandia Baru termuda yang pernah memenangkan Grammy. Ia juga memenangkan MTV VMA dan Bilboard Awards tahun ini. Walaupun saya tidak mengandalkan kredibilitas kedua penghargaan tersebut, terutama VMA. Ia juga diberikan kepercayaan untuk menciptakan dan membawakan soundtrack untuk film Mockingjay, Part 1 yang berjudul Yellow Flicker Beat.
    Yang saya suka dari lorde selain musiknya adalah dirinya yang merupakan antitesis dari penyanyi-penyanyi perempuan yang masih muda di luar sana. Rambutnya hitam legam, lebat dan seakan susah dirapikan. Penampilannya yang gothic dan cuek membuat dirinya makin disukai dan memiliki ciri khas. Yah, walaupun saya sadar mungkin itu adalah salah satu strategi pemasaran dirinya. Tapi jangan lupa ia juga seseorang yang vokal dalam mengungkapkan pikirannya termasuk persoalan perempuan. Saya rasa kita perlu lebih banyak lagi musisi perempuan seperti dirinya yang tidak hanya menjual tubuh dan seksualitas agar bisa sukses, yang tidak perlu menjual sensasi untuk berhasil (ingat itu, Gaga?) dan yakin dan percaya diri terhadap dirinya sendiri. Dan ia masih 18 tahun!!!! 18 TAHUN!

5. Joan Rivers
    She's a legend!!!! Saya tau bahwa saya memasukan Rivers dalam daftar ini semata-mata hanya karena saya adalah fans beratnya! Tiap minggu dalam beberapa tahun terakhir, ia dan skuad Fashion Police-nya berhasil membuat saya tertawa terpingkal-pingkal hingga perut sakit dan air mata keluar. Ia luar biasa lucu walaupun seringkali harus saya akui bahwa terkadang leluconnya benar-benar tidak lucu dan kasar dan tidak memiliki perasaan. Seperti leluconnya tentang Lady Diana atau rakyat Palestina. Bahkan teman saya berkata mungkin saja leluconnya tentang rakyat Palestinalah yang membawa dirinya kepada kematian dan memang tidak salah mengingat tak lama dirinya membuat lelucon tersebut dirinya mengalami kegagalan operasi yang berakhir dengan nyawanya yang melayang. Lebih miris lagi ia meninggal ketika dirinya sedang menjalani operasi pita suara. That!
     Tetapi saya melihat lebih daripada itu. Rivers adalah sosok yang perlu dihormati, terlepas dari Anda suka atau tidak dengan leluconnya. Mengutip kata-kata Samuel L. Jackson tentang kematian Rivers, "Love Her or Hate Her, we're gonna Miss JOAN RIVERS! I always Respected her go for broke humor. One of a kind.R.I.P."
      Yes, I miss her, a lot!! Setelah dirinya meninggal otomatis acara Fashion Police hibernasi hingga Januari esok dan otamatis pula saya kekurangan tawa yang tulus yang keluar dari diri saya sendiri. Saya menyukainya tidak hanya karena leluconnya yang "push the envelope" dan membuat kita berpikir (it's not kinda jokes you get from Dahsyat or Sahur time - bahkan Obama berkata "Joan didn't just make us laugh, but also think") tetapi juga karena karier Rivers telah dimulai sejak dekade 60-an, sebuah hal yang saya yakini bukan hal yang mudah bagi seorang komedian apalagi komedian perempuan. Ia telah mengalami pasang surut karier selama bertahun-tahun dan baru kembali ke puncaknya ketika ia menjadi host utama acara Fashion Police yang ditayangkan. Ia kembali ke puncak ketika usianya sudah tidak muda lagi (sangat lanjut kalau mau jujur). Ia membuka jalan bagi banyak komedian perempuan dan ia mengubah selamanya budaya karpet merah di ajang penghargaan. Ia sangat berperan dalam hal tersebut. Sayangnya kita tidak lagi bisa mendengarkan leluconnya lagi. Kita hanya bisa mengingat kembali apa yang pernah ia ucapkan. Ia meninggal ketika ia sedang di puncak kariernya. Puncak karier yang ia raih di usia 81 tahun. Apakah itu tidak cukup untuk membuat kita kagum? Saya selalu kagum. Dan merindukannya. Love you, Joan!!!

4. Shonda Rimes
     Sejak saya masih berseragam putih abu-abu, serial Grey's Anatomy yang diciptakan oleh Shonda Rimes begitu populer. Saya, kakak saya dan beberapa teman saya juga tidak ketinggalan menonton (walaupun kini sudah tidak). Dan hampir 10 tahun kemudian, Grey's Anatomy masih bertahan di musim kesebelasnya. Bahkan Rimes lebih berjaya daripada sebelumnya. Ia telah berhasil meluncurkan dua serial baru yang bahkan lebih sukses daripada Grey's Anatomy, yaitu Scandal dan How to Get Away with Murder.
     Scandal berhasil menjadi bagian utama dari pop culture Amerika Serikat, terutama dengan karakter Olivia Pope yang dipernakan oleh Kerry Washinton. Dan kini How to Get Away with Murder juga menjadi perbincangan, terutama karena keberanian Rimes dalam menampilkan adegan seks khususnya gay.
      Bahkan di Amerika sendiri ada sebutan Shonda Night yang disebabkan ketiga serial ciptaan Rimes ditampilkan pada Kamis malah secara berurutan dan berhasil menggaet rating yang tinggi. Washington dan Viola Davis, pemeran utama di How to Get Away with Murder, berhasil meraih nominasi di ajang penghargaan mulai dari Primetime Emmy, Screen Actor Guild Awards dan Golden Globe.
     Rimes adalah fenomena yang langka dalam dunia hiburan Amerika, khususnya pertelevisian. Saya yakin tidak banyak yang seperti dia. Wanita kulit hitam yang berhasil berperan penting dan menunjukkan giginya di belakang layar. Bukan hal mudah dengan apa yang ia capai sejauh ini. Perlu dedikasi dan jiwa yang kuat untuk meraih semua itu. Ia adalah sebuah harapan bagi wanita di luar sana untuk dapat berkarier setinggi dan sebaik mungkin. Shondaland will not be over yet anytime soon. Believe me!

3. Laverne Cox
  Stereotype transgender selalu negatif dan dipandang rendah oleh kebanyakan masyarakat. Mereka dianggap sampah masyarakat dan bertentangan dengan agama maka tidak perlu heran apabila mereka hanya memiliki keterbatasan ketika berhadapan dengan apa yang disebut sebagai karier. Tetapi Laverne Cox menatahkan semua stigma tersebut dan berhasil emnunjukkan bahwa transgender tidak harus menjadi orang terpinggir. Transgender juga bisa memiliki bakat dan berkarya.
      Kita pertama kali dikenalkan dengan Cox adalah ketika ia tampil di musim pertama serial yang sukses besar, Orang is the New Black, dimana ia berperan sebagai tahanan transgender yang memiliki jasa salon di dalam penjara. Dan dimulai dari sanalah namanya mulai mendunia.
     Ia menjadi transgender pertama yang tampil sebagai model sampul majalah Time dan ia juga transgender pertama yang mendapatkan nominasi di ajang penghargaan Primetime Emmy Awards dimana ia dinominasikan untuk Outstanding Guest Actress in Comedy lewat perannya sebagai Sophia Burset. Kedua hal tersebut terjadi pada tahun ini.
     Saya rasa apa yang ia capai bukan hal yang mudah mengingat ia adalah seorang transgender. (Saya selalu menyukai kisah-kisah wanita sukses). Ia adalah sebuah inspirasi, bukan hanya bagi transgender, tetapi juga seluruh manusia yang merasa "perbedaan yang dimiliki" bisa menjadi sebuah kekuatan untuk terus maju dan sukses.

2. Beyonce
  Who is Beyonce? Saya rasa orang-orang yang menanyakan hal tersebut sepertinya hidup di dalam got. Orang tua saya aja tau Beyonce itu siapa. Saya rasa bintang yang paling dibicarakan tahun ini dengan bakat yang luar biasa (hello, Kim!) adalah Beyonce. Ia bahkan tidak merilis album atau film layar lebar pada tahun ini!!
   Album terakhirnya yang diberi judul dari namanya, beyonce, dirilis secara tiba-tiba pada 13 Desember 2013 dan langsung sukses besar. Tidak ada satupun yang mengetahui apabila albumnya tersebut akan dirilis pada saat itu. Cara yang luar biasa cerdas untuk merilis album dan hal ini bagi saya adalah sebuah sejarah karena bagi saya siapapun yang berusaha mengikuti jejak Beyonce dalam merilis album akan terasa usang. She's smart.
     Walaupun tidak ada single dari album tersebut yang berhasil menduduki peringkat 1 di Billboard Hot 100 tetapi tidak ada yang peduli (Albumnya sendiri menduduki peringkat 1). Tur musiknya bersama sang suami, Jay-Z, yang diberi nama On the Run sukses besar. Ia dinobatkan sebagai musisi kulit hitam paling mahal sepanjang masa oleh Billboard. Jangan lupakan pula penampilan pembuka Grammy tahun ini oleh dirinya dan Jay-Z menjadi perbincangan dan bagi saya penampilan tersebut iconic dan seksi (the hair and the chair!!!). Ia juga diberikan penghargaan Michael Jackson Video Fanguard Award oleh MTV. Sebuah penghargaan yang amat layak untuk dirinya. Sudah sejak tahun 1999/2000 ia begitu bersinar. Saya pribadi tidak tahu kapan kira-kira sinar Beyonce akan meredup. Karena yah, ia adalah Beyonce.

1. Lupita Nyong'O
     Kisahnya bak kisah Cinderella. Setahun sebelum ajang Oscar tahun ini digelar tidak ada satupun orang di dunia ini yang mengenal namanya (nama yang eksotis bagi saya) tetapi Februari tahun ini semua tiba-tiba mengenal namanya. Semua jatuh cinta padanya, termasuk saya, ketika ia memenangkan Oscar untuk kategori Best Supporting Actress. Semua berdiri ketika namanya disebut. Penampilannya sebagai budak, Patsey, di film 12 Years A Slave sangat mempesona. Salah satu peran di film yang akan selalu diingat sepanjang masa. Begitu mentah dan pahit. Namun banyak orang yang khawator apakah Nyong'O akan bernasib sama dengan kebanyakan aktris kuliat hitam setelah memenangkan Oscar mengingat perannya di 12 Years A Slave sangat "memorable" yang membuat orang sulit untuk melihatnya berperan sebagai karakter yang lain. Belum lagi terbatasnya peran bagi aktris kulit hitam di Hollywood, seperti Halle Berry yang harus terjebak dalam peran-peran seksi yang menjual keindahan tubuhnya.
     Semua hal tersebut saya rasa salah total dan akhirnya saya pun mengakui salah karena sempat berpikir hal yang sama. Tak lama setelah ia memenangkan Oscar, Nyong'O langsung mendapat peran di film Star Wars terbaru. Film yang begitu besar. Selain itu ia juga akan berperan di versi terbaru dari The Jungle Book meskipun hanya sebagai pengisi suara. Tetapi dua film tersebut adalah dua film besar yang ditunggu banyak orang dan yang paling penting adalah orang-orang yang menggawangi kedua film tersebut adalah J. J. Abrams dan Jon Favreau. Ia juga akan berperan dalam film adaptasi dari novel sukses Americanah karya Chimamanda Ngozi Adichie. Ia juga berperan sebagai produser dalam film tersebut. Jangan lupakan ia juga berperan dalam film Non-Stop di tahun ini walapun perannya tidak besar dan tidak terlihat. tapi tetap luar biasa bukan?
     Ia juga didapuk sebagai wajah terbaru dari merk makeup legendaris, Lancome, yang sebelumnya dipercayakan kepada Julia Roberts, Penelope Cruz dan Kate Winslet. Dan ia juga dipilih oleh majalah people sebagai Most Beautiful Women untuk tahun ini. Suatu hal yang sangat saya setujui dan senangi. Tapi sayangnya saya sempat mencuri dengar langsung beberapa orang berkomentar "ya ampun Most Beautiful Women-nya orang item". Komentar yang sangat tidak pantas! Karena bagi banyak orang ia adalah kecantikan unik yang abadi. Ia memiliki bakat yang luar biasa yang siapa menyinari Hollywood karena sudah saatnya Hollywood dan dunia harus siap untuk memberi jalan bagi wanita kulit hitam yang "tidak putih". Bukan yang seperti Halle Berry, Beyonce atau Alicia Keys. Lupita Nyong'O telah membuka jalan tersebut, jalan untuk wanita-wanita seperti dirinya untuk bersinar di Hollywood. Saya angkat topi untuk itu, untuk dirinya.