Monday, January 11, 2016

FAKE.

Anna : Elsa? Haaaaaai...!!! *heboh*
Elsa : Anna? Darimanaaa...? *balik heboh*


Kejadian di atas terjadi di sepasang eskalator yang berlawanan arah di sebuah mall premium di bilangan Jakarta dimana kedua wanita tersebut hanya sekadar berpapasan di eskalator tersebut tanpa memiliki perbincangan lebih lanjut. Saya pun menimpali kejadian tersebut (dimana saya kebetulan mengenal keduanya dan pada saat kejadian berlangsung berada persis di sebelah salah satunya), “lo ramah amat sama dia? Dia kan dulu ga disukain sama temen2 les gue. Gue dulu sekelas lesnya sama dia” yang lalu ditimpali oleh kawan saya itu, “aaah gue juga cuma fake aja kok, gue juga ga suka sama dia”. Duaar..!!! Saya tidak menyadari saat itu kalo temen saya itu kurang menyukai teman kami tersebut meskipun kejadian saling berpapasan heboh tersebut terlihat tulus. Ternyata saya salah.

Kejadian tersebut telah terjadi beberapa bulan yang lalu kalau tidak salah sekitar 3 bulan yang lalu dan saya masih ingat dengan jelas bagaimana setelah teman saya bilang kalo dia “cuma fake aja” kepada teman kami tersebut, saya langsung berpikir seberapa seringkah kita bersikap fake atau palsu kepada orang lain, terutama kepada yang tidak kita sukai bahkan kita benci? Sebaik apakah akting kita dalam bersikap fake tersebut? Dan mengapa kita harus bersikap fake?
Karena masih dihantui kejadian tersebut, saya kadang berpikir apakah saya pernah dalam posisi teman saya tersebut, sebut saja si Elsa, yang bersikap palsu kepada orang yang tidak saya sukai. Jawabannya, sering. Saya sendiri dikenal oleh orang-orang di sekitar saya sebagai pribadi yang to-the-point, pribadi yang “I ain’t taking no shit from others and say no shit” yang diibaratkan apabila saya mengikuti kontes Miss Universe, saya tidak mungkin mendapatkan gelar Miss Congeniality.

Meskipun saya adalah pribadi yang blak-blakan dan apa adanya tentu saja saya pernah bersikap palsu terhadap orang yang tidak saya sukai bahkan saya benci. Ketika mengingat kembali mungkin saya sudah melakukan hal ini semenjak saya SMA ketika saya tidak menyukai beberapa kakak kelas saya dan demi keamanan posisi saya di sekolah, saya harus bersikap manis kepada mereka. (Tolong, jangan berasumsi saya anak yang femes ketika SMA hanya karena saya mengatakan “posisi saya”, I was invicible. Totally). Kenapa saya harus bersikap manis ketika diri saya sendiri tidak menyukai mereka. Jawabannya sederhana, SMA saya bukanlah sekolah dimana Anda bisa bersikap semau Anda, sekolah dimana senioritas adalah makanan sehari-hari yang lebih awam daripada nasi sekalipun.

Saya ingat salah satu kakak kelas saya luar biasa drama queen, semua hal dipermasalahkan bahkan ketika cintanya ditolak pun bisa nangis berderai-derai. (Jeez, I’m gonna be killed because of this). Saya dan teman-teman saya luar biasa tidak suka kepada dia bahkan beberapa teman saya yang tidak berada di lingkup pertemanan saya pun bercerita kalo mereka tidak suka dengan si kakak kelas ini. Tapi kami semua bersikap manis dengan beberapa alasan. Pertama, kami tidak mau mencari masalah dengan pribadi yang emosinya naik turun. Kedua, kami tidak mau mencari masalah yang ujungnya bisa memperuncing perselisihan antar angkatan yang bisa berdampak mimpi buruk (tapi juga bisa menguntungkan sih, sekolah libur di waktu tidak umum? Ikut!). Ketiga, saya tidak mau dicirikan oleh kakak kelas saya tersebut lalu lama-lama dicirikan juga oleh kakak kelas saya yang lainnya (pede aja).

Lalu berlanjut ketika kuliah dimana meskipun saya sama sekali tidak menyukai salah seorang pegawai sekretariat kampus saya, saya harus luar biasa manis demi perkuliahan saya lancar meskipun pegawai tersebut pernah membuang muka di depan saya tanpa alasan yang jelas atau pernah dijutekin lebih dari 10x. Dan jangan tanya dengan kondisi saya saat ini. Jangan.

Saya pun pernah memperhatikan orang lain yang dengan jelas bersikap seperti ini. Saya pernah datang ke sebuah bank bonafide di negeri ini dimana petugas customer service yang melayani saya memeberikan senyuman dan sambutan yang langsung dibatini oleh saya, “Yaelah mbak, saya aja palsunya masih lebih baik daripada mba padahal mba kerja di perusahaan yang lebih wow”. Bahkan kalo mau gampangnya pramugari sekelas pramugari Garuda Indonesia pun sering saya perhatikan bersikap ramah yang luar biasa palsu. Saya bisa paham dengan sikap mereka yang pasti lelah melayani ratusan bahkan ribuan orang yang berperangai berbeda-beda. Belum lagi, mengingat saya pernah dalam sebulan bisa sekian kali bolak-balik memakai pesawat, saya yakin bekerja di udara bukanlah hal yang benar-benar nyaman.

Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal saya, seberapa seringkah, seberapa baikkah dan mengapa kita bersikap palsu? Saya rasa apabila Anda sudah bekerja, Anda akan memainkan kartu fake tersebut lebih sering daripada ketika Anda kuliah, seberapapun usaha tulus Anda untuk menunjukkan sinyal “saya cuma mau kerja kok, ga mau macem-macem”. Ketika anda berada di lingkungan kerja, Anda tidak bisa memilih rekan kerja Anda, tidak seperti ketika kuliah atau sekolah dimana kita bisa memilih teman-teman kita. Ketika di lingkungan kerja, Anda harus berhadapan dan bekerja sama dengan berbagai macam manusia mulai dari yang senang bergosip (me!), pekerja keras ataupun pain in the ass. Ketika Anda berhadapan dengan pegawai yang pekerja keras, saya yakin Anda pada satu titik juga terbawa arus kinerjanya. Kadang Anda ingin bersantai dulu tetapi melihat rekan kerja Anda begitu rajinnya sehingga membuat Anda harus juga ikut lebih rajin daripada biasanya. Fake #1. Ketika Anda bekerja dengan si bigos jangan tanya seberapa sering Anda harus bersikap manis kepadanya. Anda tidak mau kan jadi bahan gosip kemana-mana olehnya. Fake #2. Lalu bagaimana dengan yang pain-in-the-ass? Tergantung kalo menurut saya. Tergantung kondisi. Ada saatnya Anda harus blak-blakan ada saatnya Anda harus masa bodoh ada saatnya Anda harus palsu. Fake #3.

Saya sendiri terkadang (atau sering kali) harus bersikap palsu mengingat pekerjaan saya yang membuat saya sering bertemu dengan pihak luar. Ketika saya sedang lelah, kesal, ngantuk ataupun sedih, saya harus melayani pihak luar dengan sebaik yang saya mampu, memberikan senyuman terbaik saya, menebarkan keramahan dengan seanggun mungkin. Hal ini pada akhirnya berujung kepada pertanyaan mengapa kita bersikap palsu. Sederhana saja, saya tidak mau nama baik tempat saya bekerja tercoreng hanya karena saya menolak untuk bersikap palsu. Untuk bersikap ramah meskipun suasana hati saya sedang tidak ingin beramah tamah. Ketika saya sendiri tidak pernah nyaman untuk bertemu dengan orang baru apalagi harus memulai perbincangan yang luwes. Bagaimanapun, kantor saya adalah tempat saya mencari nafkah, menimba ilmu, mencari pengalaman hidup dan paling penting tempat dimana membiayai gaya hidup saya yang terlalu seberapa ini. Haha.

Apakah saya sebaik itu ketika bersikap palsu? Sayangnya tidak. Saya ingat seseorang atau bahkan banyak orang yang bilang kalo saya tidak menyukai sesuatu langsung tergambar di wajah saya. Semudah itu. Tapi percayalah saya sangat mampu bersikap palsu dengan lihai. Saya ingat kejadian ketika saya makan siang dengan salah seorang rekan. Saya sedang luar biasa kesal dan ngedumel tentang suatu hal lalu satu detik kemudian saya menerima telepon dari salah seorang “stakeholder” kantor saya. Ketika menjawab telepon suara dan nada saya langsung berubah total. Ketika saya mengakhiri pembicaraan lewat seluler, teman saya tersebut langsung terperangah dan bilang, “gila! gue salut sama lo, bisa langsung berubah drastis dari marah jadi ke super ramah dan manis kayak gitu”. Kesimpulannya sih, tergantung yang dihadapi siapa. Kalo bigos yaaa Anda harus selihai mungkin. Kalo pain-in-the-ass saya rasa seorang ustad, rabi atau pendeta pun pasti sabarnya terbatas. Terkadang Anda akan menunjukkan ketidaksukaan Anda pada si pain-in-the-ass ini.

Bersikap palsu juga bagi saya bisa bertujuan untuk melindungi perasaan orang yang kita hadapi ketika kita tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik. Seberapa seringkah Anda menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik kepada orang yang Anda tidak sukai? Saya yakin jarang atau bahkan tidak pernah. Kita sebagai manusia sering kali tidak memiliki keberanian atau kemampuan menjelaskan dengan baik kepada orang yang kita tidak sukai mengapa kita tidak suka mereka. Dengan cara yang seminim mungkin menyakiti mereka. Karena kita tidak mampu atau tidak berani maka kita memilih jalan yang lebih sederhana, yaitu palsu. Meskipun kita tahu terkadang kita tidak berhasil dalam bersikap palsu. Atau mungkin bukan karena Anda tidak bisa menjelaskan tetapi karena Anda tidak memiliki satu alasan pun mengapa Anda tidak menyukai orang tersebut. Seperti yang pernah saya katakan kepada salah seorang rekan tentang alasan kenapa saya tidak menyukai seseorang, “You don’t have to have valid reason to hate someone. You just hate them. Period.”

Intinya bersikap palsu adalah makanan kita sehari-hari tergantung alasannya. Untuk melindungi perasaan kah, untuk menjaga posisi aman kah, untuk menyudahi kelelahan batinkah, kita semua pernah di posisi palsu tersebut. Pernah melakukannya. Jadi sebenernya tidak pada tempatnya juga kan kita menghakimi orang-orang yang pernah melakukan ini. Hmmmm, tapi memang sih menghakimi orang lain begitu nikmat karena untuk sejenak kita dapat melupakan kepalsuan kita terhadap diri sendiri.

Psssttt... tapi jangan membiasakan bersikap palsu daripadalama-lama berubah menjadi si pain-in-the-ass. Semua ada kadar normalnya kecuali ya si pain-in-the-ass.