Wednesday, December 24, 2014

[Ulasan] Pendekar Tongkat Emas

      Jadi, setelah menunggu sekian lama untuk film Pendekar Tongkat Emas akhirnya saya berhasil juga menonton film ini hari Sabtu yang lalu. Saya rasa saya jarang sekali menantikan untuk menonton film lokal. Biasanya saya tidak pernah benar-benar menunggu sebuah film lokal tayang karena biasanya pula saya hanya reflek ketika menonton film lokal. Siapa pemainnya atau siapa sutradaranya. Tapi untuk kasus Pendekar Tongkat Emas berbeda. Saya pertama kali mengtahui tentang film ini adalah dari seorang teman saya dan akhirnya saya mencari tahu tentang film ini. Wow! Pemainnya top, sutradaranya top dan produsernya pun top. Saya semakin menunggu lah karena dua film lokal yang saya tonton tahun ini kualitasnya agak di bawah ekspektasi saya.
      Sebenarnya, plot cerita film ini sangat sederhana tetapi saya tidak akan membeberkan total plot ceritanya karena buat saya itu tidak asik sama sekali. Berkisah tentang Cempaka yang diperankan oleh Christine Hakim yang merupakan seorang pendekar yang disegani di dunia perseilatan antah berantah yang memiliki Tongkat Emas yang legendaris. Ia memiliki 4 orang murid, yaitu Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia) dan Angin (pendatang baru, Aria Kusumah), yang kesemuanya adalah anak dari para pendekar yang pernah dikalahkan oleh Cempaka. Suatu hari Cempaka memutuskan akan mewariskan Tongkat Emas kepada salah satu muridnya yang dianggap olehnya memiliki kualitas sebagai Pendekar Tongkat Emas. Maka dari itu ia akan mengajari jurus silat yang sangat jarang dikuasai dengan baik oleh pendekar lain, yaitu jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi. Ketika Cempaka memutuskan salah seorang muridnya maka timbulah rasa iri di hati murid-muridnya yang lain. Dari sinilah kisah berkembang walaupun tidak begitu banyak.
      Jujur, bagi saya plot PTE cukup lambat sehingga akan menimbulkan rasa bosan bagi penonton yang mengharapkan murni hiburan dari sebuah film. Tapi bagi saya hal ini tidak masalah karena saya sudah terbiasa menonton film-film yang "berat" walaupun saya akui saya sempat mengalami kebosanan di beberapa adegan dari film ini. Saya pribadi bukan penggemar film silat karena jujur dari kecil saya lebih terbiasa nonton film-film blockbuster Hollywood yang bertempo dinamis. Tapi saya rasa PTE adalah tipikal film silat kebanyakan (berdasarkan dari beberapa film silat yang pernah saya tonton, misalnya Crouching Tiger Hidden Dragons). Kisah PTE sendiri buat saya sulit diulas. Bagi saya loh ya. Tidak banyak aspek cerita yang bisa saya ulik. Kisahnya memang kisah kebaikan melawan kejahatan. Mungkin karena ini bisa dibilang film keluarga jadi kisahnya memang sengaja tidak dibuat rumit.
       Penampilan para aktornya pun terasa sulit berkembang. Christine Hakim seperti biasa memukau kita semua. Seluruh keletihan baik fisik maupun batin yang pernah ia alami begitu terasa, terutama melalui suaranya sebagai narator di awal film ini. Reza Rahadian pun juga tampil baik. Hanya melalui ekspresi wajahnya, kita dapat memahami kekecewaannya dan kemarahannya. Eva Celia pun juga tampil tidak buruk. Tapi yang mencuri perhatian saya adalah aktor cilik yang memerankan karakter Angin, yaitu Aria Kusumah. Ia tidak banyak berbicara tetapi aktingnya efektif. Ia selalu mencuri perhatian di setiap adegan ia muncul. Berakting dengan dialog saja sudah sulit apalagi hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah atau bahasa tubuh. Saya merasa terpukau olehnya. Kalaupun aktor yang tampil agak mengecewakan bagi saya adalah Nicholas Saputra. Bagi saya aktingnya datar dan kurang emosi sehingga saya tidak merasakan apa-apa dari karakternya. Bahkan karakter dingin rangga pun lebih berasa loh. Belum lagi akting Tara Basro yang sedikit mengganggu, misalnya kenapa ia harus selalu seperti tersenyum di tiap adegan, bahkan di adegan dimana ia harus marah. Tapi setelah saya perhatikan setelah menonton PTE, memang wajahnta seperti itu. Tapi karena dia seksi maka mudah dimaafkan. Plus matanya indah dan unik! (FYI, saya juga baru tau kalo ia adalah adik dari seorang temen saya ketika SD, yang notabene-nya ia pernah bersekolah di SD saya dan ia masih juga tinggal di satu komplek dengan saya!! Lumayanlah pernah kenal dengan orang femes walaupun berabad-abad tidak pernah ketemu san saya yakin kakaknya pun lupa dengan saya).
    Jualan utama film ini, yaitu adegan silatnya sangat bisa diacungi jempol. Sangat keren dan memukau. Walaupun saya yakin para aktornya menggunakan stuntman tapi saya tetap kagum dengan penampilan semua aktor utamanya dalam beradegan silat. Terlihat sungguhan dan dapat dipercaya. Cepat dan dinamis. Adegan silat terakhir di film ini adalah buktinya. Epik!!! Cukup menegangkan dan seperti tidak menyisakan ruang untuk bernapas bagi penontonnya. Jempol untuk Ifa Isfansyah sang sutradara (yang juga pernah menyutradarai salah satu film favorit saya, Sang Penari) yang mengarahkan film ini. Setau saya para aktornya digembleng selama berbulan untuk dapat menguasai dengan baik silat di film ini.
    Untuk urusan teknis film ini juga juara. Scoring film ini sangat juara. Lengkingan nyanyian tradisional ketika salah satu karakter utamanya dimakamkan sangat menyayat hati tapi juga indah di sisi lain. Saya sampai menunggu hingga bagian credit title loh untuk tau siapa komposernya. Ternyata Erwin Gutawa. Ga heran!!! Selain itu tata kostum oleh Chitra Subiyakto juga membuat saya kagum sampai-sampai saya kepengen banget suatu hari nanti bisa beli dan pake pakaian-pakaian yang dikenakan oleh pemainnya, seperti tenun Sumba dengan warna netral. Chitra Subiyakto perlu diacungi jempol karena dapat membuat kostumnya bukan seperti kostum yang baru dibuat melainkan seperti sudah lama dikenakan karena bagi saya salah satu kelemahan film lokal adalah tata kostum yang kadang kurang meyakinkan. Setting zaman perang atau zaman dulu tapi seperti pakaian baru yang baru dicuci atau dibeli. Tidak realistis. Tapi PTE tidak. Tapi saya langsung sadar yang kita bicarakan adalah penata kostum sekelas Chitra Subiyakto sih ya jadi ga heran.
     Sinematografi film ini juga menjadi salah satu titik paling unggul atau bahkan paling unggul dari PTE. Kita disajikan pemandangan indah Sumba, NTT yang berupa perbukitan kecil, padang sabana serta pantai yang indah yang mebuat saya makin merana karena makin ngiler pengen kesana. Saya menyesal lupa nama sinematografer untuk film ini (saya mempunyai penyakit untuk harus tau siapa-siapa saja nama orang di belakang layar sebuah film yang bagus). Bagi beberapa teman saya terkadang membuat pusing karena editing yang cepat dan terkadang terlalu zoom sehingga membuat kepala mereka pusing, tapi saya kok tidak ya? 
    Saya harus mengacungi jempol bagi Mira Lesmana dan Riri Riza sang produser yang sekali lagi mau mengeksplorasi bagian Indonesia yang lain untuk dijadikan lokasi syuting. Selain itu dengan ide mereka yang cerdas untuk membuat film silat yang lebih ramah bagi penonton Indonesia (karena The Raid tidak ramah untuk Anda yang stres liat darah bukan?). Saya selalu menyukai dynamic dua ini karena setia untuk memproduksi film-film bermutu walaupun belum semua film mereka saya tonton. Ouch!
     Meskipun memiliki kekurangan yang tidak begitu banyak di sana-sini tapi kita harus sangat mengapresiasi siapapun yang terlibat dalam Pendekar Tongkat Emas. Atas jerih payah mereka untuk memberika tontonan yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Saya selalu berharap semoga ke depannya banyak film Indonesia yang memiliki kualitas sebaik Pendekar Tongkat Emas. 
      Selesai menonton film ini ada perasaan bangga ternyata ada film Indonesia sebaik ini, dalam artian selama ini saya hanya menonton film lokal yang bagus banget hanya dari genre drama tetapi PTE adalah drama action. Bangga karena masih ada sineas lokal yang masih mau memproduksi film dengan kualitas seperti ini di tengah sikap apatis masyarakat Indonesia terhadap film lokal, film dari negerinya sendiri. Saya bangga pula saya telah menjadi bagian dari penonton yang telah menikmati film ini. Pendekar Tongkat Emas juga membuat saya berjanji pada diri saya sendiri agar mulai tahun 2015 untuk lebih sering lagi menonton film-film Indonesia yang bagus tentunya. Saya akan berusaha menepati janji saya itu.
       Sekali lagi, saya acungi jempol dan mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang terlibat dalam film ini (dan juga yang mau menonton film ini!). Terima kasih kepada kalian semua.

No comments:

Post a Comment