Minggu lalu saya
menyempatkan diri untuk menonton film Athirah yang disutradarai oleh Riri Riza.
Awalnya saya cukup skeptis ketika tahu siapa sosok Athirah sebenarnya. Beliau
adalah ibunda dari Wakil Presiden RI saat ini, Jusuf Kalla. Kenapa saya
skeptis? Karena saya khawatir apabila film ini hanya akan mendewakan sosok Pak
JK meskipun ini kisah ibunda beliau. Namun, saya salah 100%. Athirah tidak
menjadi film yang berbau politik dan mendewakan Pak JK. Athirah adalah film
tentang wanita dan keluarganya.
Athirah dimulai
dengan pindahnya orang tua Jusuf Kalla ke Makassar pada awal tahun 1950-an. Di
Makassar mereka memulai usaha berdagang kelontong yang pada akhirnya menjadi
sukses dan terkenal seantero Makassar seperti mengutip salah satu rekan sekolah
Jusuf Kalla, “siapa yang tidak tahu Bapak kamu Cup”. Seperti masalah klasik
beberapa pria sukses di umur 40an, ayah Jusuf Kalla kepincut wanita lain dan
akhirnya melakukan poligami tanpa seizin atau sepengetahuan Athirah. Awalnya,
Athirah hanya curiga namun akhirnya ia menanyakan hal ini kepada anak buah
kepercayaan suaminya. Kecurigaannya diamini oleh sang anak buah.
Kisah poligami
ini pun akhirnya diketahui oleh banyak orang yang pada akhirnya cukup
mempengaruhi kesan Jusuf Kalla dimata keluarga anak gadis yang ditaksirnya.
Mereka khawatir apabila sang ayah melakukan poligami, hal tersebut dapat “menurun”
kepada anaknya.
Sebenarnya tidak
terlalu banyak cerita yang bisa diceritakan kembali dari film Athirah tetapi
ada beberapa hal yang dapat saya amini. Sikap Athirah dalam menghadapi masalah
keluarga yang sedang dihadapinya mengingatkan kisah ibunda saya sendiri tentang
orang-orang tua zaman dulu. Generasi kakek nenek saya dan sebelumnya, terutama
kaum perempuan. Yang saya bisa amini adalah tentang pengorbanan, pengabdian dan
kesetiaan mereka terhadap keluarga.
Bagaimana Athirah
tetap bertahan dalam pernikahannya bahkan tidak pernah sedikit pun
mengkonfrontasi suaminya. Pun ketika ia melihat suaminya menghadiri resepsi
pernikahan kerabatnya, ditemani si isteri muda. Ia hanya diam dan pulang
walaupun, melalui sosok Cut Mini yang berakting dengan sangat gemilang di sini
dan seperti biasanya, kita semua paham ia sangat hancur. Athirah juga mencoba
untuk tidak selalu bergantung kepada sang suami terkait ekonomi. Karena ia
mencintai kain tenun Sulawesi Selatan maka ia melakukan jual beli kain tenun
tersebut yang keuntungannya ia investasikan dengan membeli perhiasan. Ia tidak
memakainya dan hanya menyimpannya. Ia pun tetap mengurus anaknya dengan baik
dan tidak pernah lupa untuk turun ke dapur langsung untuk membantu pembantunya
memasak. Bahkan ia tidak pernah lupa menjawab salam suaminya yang berangkat
kerja atau keluar rumah meskipun jawaban salam itu tidak pernah ia ucapkan di
depan suaminya. Hal yang menurut saya sangat simbolis. Di satu sisi ketika ia
tidak menjawab salam suaminya secara langsung, hal tersebut merupakan tanda
bahwa ia tidak pernah menyetujui poligami yang dilakukan oleh suaminya. Di sisi
lain, jawaban salam yang tetap ia ucapkan adalah tanda bahwa, “aku masih
istrimu dan engkau masih suamiku, maka aku jawab salammu”. Dengan semua
tindakannya tersebut, Athirah masih sangat menghormati keluarganya dan
menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
Hal-hal yang
dilakukan oleh Athirah tersebutlah yang membuat saya teringat dengan generasi
kakek nenek saya. Kakek saya meninggal ketika ibu saya masih berumur tujuh
tahun. Ia memiliki lima orang anak, dengan yang paling tua berumur delapan
tahun dan yang paling kecil berumur lima bulan. Hal yang sangat tidak bisa
dibayangkan ditinggalkan oleh suami dengan anak sebanyak dan seusia itu. Nenek
saya juga tidak bekerja. Kakek saya adalah tentara. Pada pertengahan 1960-an,
tentara bukanlah profesi dengan uang melimpah, sekalipun jabatan kakek saya
saat itu terbilang tinggi. Jangan lupakan pula pada saat itu adalah dekade 60
dimana situasi seluruh aspek di Indonesia sedang tidak baik.
Nenek saya adalah
wanita Pasundan yang cantik. Saya masih mengingat dengan baik ketika ayah saya
mengatakan kepada saya bahwa nenek saya dan ibundanya (nenek buyut saya) adalah
sosok terbaik yang pernah ayah saya kenal. Cantik luar dalam. Tidak pernah ayah
saya mengenal sosok sebaik mereka berdua. Padahal ayah saya bukanlah sosok yang
mudah untuk memuji. Jadi tidak heran apabila ada beberapa pria yang berusaha
melamar nenek saya setelah kakek saya meninggal namun selalu ditolak oleh nenek
saya. Dengan alasan? “Saya masih mencintai suami saya”. Jadi nenek saya lebih
memilih membesarkan anak-anaknya seorang diri daripada dibantu oleh suami
kedua. Hal tersebut ia lakukan sebagai bentuk rasa cinta kepada suaminya.
Beruntung keluarga saya memiliki pembantu yang sangat mengabdi. Meskipun tahu
bahwa keluarga ibu saya tidak seperti dulu lagi dari kondisi keuangannya, namun
si Mbok tetap setia. Hal inilah yang sudah sangat sulit kita temui pada sosok
pekerja rumah tangga atau profesi lainnya. Kesetiaan dan pengabdian.
Ibu saya juga
pernah bercerita ketika salah seorang tante saya akan menikah, mantan supir
keluarga ibu saya ketika kakek saya masih hidup, datang membantu persiapan
pernikahan tante saya. Ia mengantar ibu saya kesana kemari membeli kebutuhan
acara. Alasan beliau datang membantu? Beliau terus mengingat kebaikan kakek dan
nenek saya dan dengan datang membantu adalah satu bentuk ucapan terima kasih
kepada kakek nenek saya. Kesetiaan.
Ketika ibu saya
beserta saudara-saudaranya beranjak dewasa dan membutuhkan pekerjaan, mengingat
tidak memiliki biaya untuk kuliah, banyak teman kakek saya langsung membantu
dan menawarkan pekerjaan. Alasannya selalu sama, selalu ingat kakek saya. Atau
ketika kakak ibu saya masih duduk di bangku sekolah menengah, nenek saya
kewalahan mengurus anak-anaknya, akhirnya ada salah seorang guru uwak saya yang
langsung membantu. Beliau mempersilahkan uwak saya untuk tinggal dengannya
bahkan ada beberapa keluarga teman uwak saya yang juga ikut membantu. Kebetulan
uwak saya dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan disukai oleh
teman-temannya.
Beberapa kisah
tersebut tidak bisa tidak muncul di dalam kepala saya ketika menonton Athirah
karena Athirah menyentuh isu tentang kesetiaan. Di tengah penyajian kecantikan
alam dan kain Sulawesi Selatan (hormat saya untuk Chitra Subyakto yang selalu
apik) dalam layar film Athirah, saya seperti ditarik ke belakang oleh kisah
ini. Mencoba menerka seperti apa hidup di tahun 1950an dan 1960an ketika pada
saat itu masih jamak kita temui sosok-sosok seperti Athirah atau orang-orang di
sekeliling keluarga ibu saya. Bahwa masih banyak orang yang mau tulus membantu
tanpa diminta dan tanpa pamrih.
Saya pun lantas
membandingkan dengan generasi saya yang sangat mementingkan kepentingannya
sendiri. Memang benar masih banyak orang-orang generasi saya yang masih
memiliki sikap seperti generasi kakek nenek saya tapi saya rasa lebih banyak yang
sebaliknya. Ada yang bergabung dengan komunitas mengajar lalu mengunggah
aktivitas mengajar gratisnya di media sosial dengan caption, “I’ve done something real good for my community!!”.
Padahal hanya mengajar sehari. Atau yang bergabung di organisasi kemahasiswaan
bukan untuk mengembangkan diri dan kampusnya tetapi lebih karena agar CV dia
ketika mencari kerja nanti mentereng. Atau ketika ada yang mendapatkan beasiswa
yang menggunakan uang negara dan seharusnya kembali untuk membangun negeri, ia
malah menetap di luar negeri. Atau menanyakan terlebih dahulu besaran uang yang
akan diterima pada pekerjaannya ketimbang besaran pengabdian yang dapat kita
berikan kepada pekerjaan kita.
Saya pun bukan
siapa-siapa yang lantas berhak menghakimi kisah-kisah di atas. Mereka tentu
punya hak sebesar yang saya miliki. Tetapi saya hanya menginginkan, karena kata
merindukan sepertinya tidak tepat, untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di
tengah-tengah masyarakat yang setiap individunya memiliki sikap simpati
terhadap orang lain. Siap melakukan pengorbanan luar biasa kepada orang-orang
kita kenal.
Bukankah
melakukan pengorbanan atau membantu dengan sungguh-sungguh orang yang lebih
kita kenal pada dasarnya lebih sulit daripada membantu orang yang kita tidak
terlalu kenal. Hal tersebutlah yang sudah dijalankan oleh generasi kakek nenek
kita, suatu sikap yang generasi saya, generasi Millenial, harus banyak belajar.
Agar generasi Millenial dapat mundur sejenak dari seluruh gadget yang dimiliki
dan dorongan mengunggah di media sosial untuk dapat melihat di sekeliling kita,
adakah orang yang kita kenal dengan baik yang perlu untuk dibantu. Adakah
kesetiaan dan pengorbanan yang dapat kita berikan.
Terlepas dari
semua isu tersebut, Athirah memang bukan film sempurna malah terkesan nanggung
tetapi romantisme masa lalu yang ditampilkan cukup membuat saya berpikir,
menyukainya dan menasbihkannya menjadi salah satu film favorit saya untuk tahun
ini.