Anna : Elsa? Haaaaaai...!!! *heboh*
Elsa : Anna? Darimanaaa...? *balik
heboh*
Kejadian di atas terjadi di sepasang
eskalator yang berlawanan arah di sebuah mall premium di bilangan Jakarta
dimana kedua wanita tersebut hanya sekadar berpapasan di eskalator tersebut
tanpa memiliki perbincangan lebih lanjut. Saya pun menimpali kejadian tersebut
(dimana saya kebetulan mengenal keduanya dan pada saat kejadian berlangsung
berada persis di sebelah salah satunya), “lo ramah amat sama dia? Dia kan dulu
ga disukain sama temen2 les gue. Gue dulu sekelas lesnya sama dia” yang lalu
ditimpali oleh kawan saya itu, “aaah gue juga cuma fake aja kok, gue juga ga
suka sama dia”. Duaar..!!! Saya tidak menyadari saat itu kalo temen saya itu
kurang menyukai teman kami tersebut meskipun kejadian saling berpapasan heboh tersebut
terlihat tulus. Ternyata saya salah.
Kejadian tersebut telah terjadi beberapa
bulan yang lalu kalau tidak salah sekitar 3 bulan yang lalu dan saya masih
ingat dengan jelas bagaimana setelah teman saya bilang kalo dia “cuma fake aja”
kepada teman kami tersebut, saya langsung berpikir seberapa seringkah kita
bersikap fake atau palsu kepada orang lain, terutama kepada yang tidak kita
sukai bahkan kita benci? Sebaik apakah akting kita dalam bersikap fake
tersebut? Dan mengapa kita harus bersikap fake?
Karena masih dihantui kejadian tersebut,
saya kadang berpikir apakah saya pernah dalam posisi teman saya tersebut, sebut
saja si Elsa, yang bersikap palsu kepada orang yang tidak saya sukai.
Jawabannya, sering. Saya sendiri dikenal oleh orang-orang di sekitar saya
sebagai pribadi yang to-the-point, pribadi yang “I ain’t taking no shit from
others and say no shit” yang diibaratkan apabila saya mengikuti kontes Miss
Universe, saya tidak mungkin mendapatkan gelar Miss Congeniality.
Meskipun saya adalah pribadi yang
blak-blakan dan apa adanya tentu saja saya pernah bersikap palsu terhadap orang
yang tidak saya sukai bahkan saya benci. Ketika mengingat kembali mungkin saya
sudah melakukan hal ini semenjak saya SMA ketika saya tidak menyukai beberapa
kakak kelas saya dan demi keamanan posisi saya di sekolah, saya harus bersikap
manis kepada mereka. (Tolong, jangan berasumsi saya anak yang femes ketika SMA
hanya karena saya mengatakan “posisi saya”, I was invicible. Totally). Kenapa
saya harus bersikap manis ketika diri saya sendiri tidak menyukai mereka.
Jawabannya sederhana, SMA saya bukanlah sekolah dimana Anda bisa bersikap semau
Anda, sekolah dimana senioritas adalah makanan sehari-hari yang lebih awam daripada
nasi sekalipun.
Saya ingat salah satu kakak kelas saya
luar biasa drama queen, semua hal dipermasalahkan bahkan ketika cintanya
ditolak pun bisa nangis berderai-derai. (Jeez, I’m gonna be killed because of
this). Saya dan teman-teman saya luar biasa tidak suka kepada dia bahkan
beberapa teman saya yang tidak berada di lingkup pertemanan saya pun bercerita
kalo mereka tidak suka dengan si kakak kelas ini. Tapi kami semua bersikap
manis dengan beberapa alasan. Pertama, kami tidak mau mencari masalah dengan
pribadi yang emosinya naik turun. Kedua, kami tidak mau mencari masalah yang
ujungnya bisa memperuncing perselisihan antar angkatan yang bisa berdampak
mimpi buruk (tapi juga bisa menguntungkan sih, sekolah libur di waktu tidak
umum? Ikut!). Ketiga, saya tidak mau dicirikan oleh kakak kelas saya tersebut
lalu lama-lama dicirikan juga oleh kakak kelas saya yang lainnya (pede aja).
Lalu berlanjut ketika kuliah dimana
meskipun saya sama sekali tidak menyukai salah seorang pegawai sekretariat
kampus saya, saya harus luar biasa manis demi perkuliahan saya lancar meskipun
pegawai tersebut pernah membuang muka di depan saya tanpa alasan yang jelas
atau pernah dijutekin lebih dari 10x. Dan jangan tanya dengan kondisi saya saat
ini. Jangan.
Saya pun pernah memperhatikan orang lain
yang dengan jelas bersikap seperti ini. Saya pernah datang ke sebuah bank bonafide
di negeri ini dimana petugas customer service yang melayani saya memeberikan
senyuman dan sambutan yang langsung dibatini oleh saya, “Yaelah mbak, saya aja
palsunya masih lebih baik daripada mba padahal mba kerja di perusahaan yang
lebih wow”. Bahkan kalo mau gampangnya pramugari sekelas pramugari Garuda
Indonesia pun sering saya perhatikan bersikap ramah yang luar biasa palsu. Saya
bisa paham dengan sikap mereka yang pasti lelah melayani ratusan bahkan ribuan
orang yang berperangai berbeda-beda. Belum lagi, mengingat saya pernah dalam
sebulan bisa sekian kali bolak-balik memakai pesawat, saya yakin bekerja di
udara bukanlah hal yang benar-benar nyaman.
Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal
saya, seberapa seringkah, seberapa baikkah dan mengapa kita bersikap palsu?
Saya rasa apabila Anda sudah bekerja, Anda akan memainkan kartu fake tersebut
lebih sering daripada ketika Anda kuliah, seberapapun usaha tulus Anda untuk
menunjukkan sinyal “saya cuma mau kerja kok, ga mau macem-macem”. Ketika anda
berada di lingkungan kerja, Anda tidak bisa memilih rekan kerja Anda, tidak
seperti ketika kuliah atau sekolah dimana kita bisa memilih teman-teman kita.
Ketika di lingkungan kerja, Anda harus berhadapan dan bekerja sama dengan
berbagai macam manusia mulai dari yang senang bergosip (me!), pekerja keras
ataupun pain in the ass. Ketika Anda berhadapan dengan pegawai yang pekerja
keras, saya yakin Anda pada satu titik juga terbawa arus kinerjanya. Kadang
Anda ingin bersantai dulu tetapi melihat rekan kerja Anda begitu rajinnya
sehingga membuat Anda harus juga ikut lebih rajin daripada biasanya. Fake #1.
Ketika Anda bekerja dengan si bigos jangan tanya seberapa sering Anda harus
bersikap manis kepadanya. Anda tidak mau kan jadi bahan gosip kemana-mana
olehnya. Fake #2. Lalu bagaimana dengan yang pain-in-the-ass? Tergantung kalo
menurut saya. Tergantung kondisi. Ada saatnya Anda harus blak-blakan ada
saatnya Anda harus masa bodoh ada saatnya Anda harus palsu. Fake #3.
Saya sendiri terkadang (atau sering
kali) harus bersikap palsu mengingat pekerjaan saya yang membuat saya sering
bertemu dengan pihak luar. Ketika saya sedang lelah, kesal, ngantuk ataupun
sedih, saya harus melayani pihak luar dengan sebaik yang saya mampu, memberikan
senyuman terbaik saya, menebarkan keramahan dengan seanggun mungkin. Hal ini
pada akhirnya berujung kepada pertanyaan mengapa kita bersikap palsu. Sederhana
saja, saya tidak mau nama baik tempat saya bekerja tercoreng hanya karena saya
menolak untuk bersikap palsu. Untuk bersikap ramah meskipun suasana hati saya
sedang tidak ingin beramah tamah. Ketika saya sendiri tidak pernah nyaman untuk
bertemu dengan orang baru apalagi harus memulai perbincangan yang luwes.
Bagaimanapun, kantor saya adalah tempat saya mencari nafkah, menimba ilmu,
mencari pengalaman hidup dan paling penting tempat dimana membiayai gaya hidup
saya yang terlalu seberapa ini. Haha.
Apakah saya sebaik itu ketika bersikap
palsu? Sayangnya tidak. Saya ingat seseorang atau bahkan banyak orang yang
bilang kalo saya tidak menyukai sesuatu langsung tergambar di wajah saya.
Semudah itu. Tapi percayalah saya sangat mampu bersikap palsu dengan lihai.
Saya ingat kejadian ketika saya makan siang dengan salah seorang rekan. Saya
sedang luar biasa kesal dan ngedumel tentang suatu hal lalu satu detik kemudian
saya menerima telepon dari salah seorang “stakeholder” kantor saya. Ketika
menjawab telepon suara dan nada saya langsung berubah total. Ketika saya mengakhiri
pembicaraan lewat seluler, teman saya tersebut langsung terperangah dan bilang,
“gila! gue salut sama lo, bisa langsung berubah drastis dari marah jadi ke
super ramah dan manis kayak gitu”. Kesimpulannya sih, tergantung yang dihadapi
siapa. Kalo bigos yaaa Anda harus selihai mungkin. Kalo pain-in-the-ass saya
rasa seorang ustad, rabi atau pendeta pun pasti sabarnya terbatas. Terkadang
Anda akan menunjukkan ketidaksukaan Anda pada si pain-in-the-ass ini.
Bersikap palsu juga bagi saya bisa
bertujuan untuk melindungi perasaan orang yang kita hadapi ketika kita tidak
memiliki keberanian untuk menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik. Seberapa
seringkah Anda menunjukkan kejujuran dengan cara yang baik kepada orang yang
Anda tidak sukai? Saya yakin jarang atau bahkan tidak pernah. Kita sebagai
manusia sering kali tidak memiliki keberanian atau kemampuan menjelaskan dengan
baik kepada orang yang kita tidak sukai mengapa kita tidak suka mereka. Dengan
cara yang seminim mungkin menyakiti mereka. Karena kita tidak mampu atau tidak
berani maka kita memilih jalan yang lebih sederhana, yaitu palsu. Meskipun kita
tahu terkadang kita tidak berhasil dalam bersikap palsu. Atau mungkin bukan
karena Anda tidak bisa menjelaskan tetapi karena Anda tidak memiliki satu
alasan pun mengapa Anda tidak menyukai orang tersebut. Seperti yang pernah saya
katakan kepada salah seorang rekan tentang alasan kenapa saya tidak menyukai
seseorang, “You don’t have to have valid reason to hate someone. You just hate
them. Period.”
Intinya bersikap palsu adalah makanan
kita sehari-hari tergantung alasannya. Untuk melindungi perasaan kah, untuk
menjaga posisi aman kah, untuk menyudahi kelelahan batinkah, kita semua pernah
di posisi palsu tersebut. Pernah melakukannya. Jadi sebenernya tidak pada
tempatnya juga kan kita menghakimi orang-orang yang pernah melakukan ini.
Hmmmm, tapi memang sih menghakimi orang lain begitu nikmat karena untuk sejenak
kita dapat melupakan kepalsuan kita terhadap diri sendiri.
Psssttt... tapi jangan membiasakan
bersikap palsu daripadalama-lama berubah menjadi si pain-in-the-ass. Semua ada
kadar normalnya kecuali ya si pain-in-the-ass.